Sabtu, 09 April 2011

LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI


A. LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI
1. Larangan Terhadap Tengkulak
عَنْ طَا وُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ قَلَ: قَلَ رسول الله صلّى الله عليه وسلم :لاَ تَلَقُّو ا الرُّكَّا بَ وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرُ‘ لِبَادٍ, قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاقُوْلُهُ: وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرُلِبَادٍ,قَلَ: لاَيَكُنُ لَهُ سِمْسَارًا.(متفق عليه والفظ للبخارى)
“Dari thawus dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “ Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kotamenjual buat orang desa.” saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota menjualkan buat orang desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya.” (Muttafaq alaih , tetapi lafazh tersebut dari bukhari).
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk ma’kah. Mereka dating bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.
Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal.
Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
Rasulullah saw bersabda:
إذَا تَبَا يَعَ الرَّجُلاَ نِ فَكُلُّ وَاحِدٍمِنْهُمَا بِلْخِيَرِمَالَمْ يَتَفَرَّقَ وَكَانَا جَمِيْعًا أوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اْلاَخَرَ, فَإِنُْ خَيَّرَاحَدُهُمَااْلاَخَرَ,فَإِنْ خَيِّرَاَحَدُهُمَاهُمَااْلاَخَراْلاَخَرَفَتَبَا يَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْوَزَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَ بَعْدَ أَنْ يَتَبَا يَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدُ‘مِنْهُمَا َالبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَاالْبَيْعُ.
“apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut. (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.
Menurut Hadawiyah dan Asy-syafi’I melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya adalah karena penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya.
Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir hadits.
Hanafiyah dan Al-Auja’I membolehkan mencegat kafilah jika tidak mendatangkan mudarat kepada penduduk, tapi jika mendatangkan mudarat pada penduduk, hukumnya makruh.
2. Larangan Menimbun Barang Pokok/ Monopoli Barang.
Sabda Rasulullah SAW:
وَ عَنْ مَعْمَرِ بْن ِعَبْدِ اللهِ – رَضِيَ الله عَنْهُ-عَنْ رَسُوْ الله صَلى الله عَليْهِ وَسَلم قالَ (لا يَحْتكِرُ إلاخَاطِىءُ).رواه أحمد.
“Dari Ma’mar Bin Abdullah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:” Tidaklah orang yang menimbun barang (monopoli) kecuali orang yang bersalah”(HR Muslim).
Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijula kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga. Ini merupakan pengertian secara terminologi.
Kata al-Khaati’; Ar-Raqhib berkata“Al-khata’adalah merubah arah.
Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli.
Para ulama membagi monopoli kedalam dua jenis:
1. Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat,
Sabda Rasulullah, riwayat Al-Asram dari Abu Umamah:
أَنْ النبيُ صَلى الله عَليهِ وسلم نهَى أنْ يَحْتكِرُالطٌعَا مَ.
Artinya:
“Nabi SAW melarang monopoli makanan”
Jenis inilah yang dimaksud dalam hadis bahwa pelakunya bersalah, maksudnya bermaksiat, dosa dan melakukan kesalahan.
2. Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadis diantaranya:
- Hadits Umara dari Nabi SAW
مَنْ احْتَكَرَعَلى لمُسْلِمِيْنَ طَعَامُهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِل اجُذامِ وَالاِ فْلاَ سِ
Artinya:
“Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya.”
- Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan
اَجَالْ لِبُ مَرْزُوْقُ وَالمُحْتَكِرُمَلْعُوْنُ
“orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat”
- Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
مَنِ احْتَكَرَحُكْرَة ًيُرِيْدُأنْ يُغَالِيَ بِهَاعَلَى ا لمُسْلِمِيْنَ فَهُوَخَطِئَُ
Artinya:
“Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”
- Dari ibnu Umar, dari Nabi SAW:
مَنْ احْتَكَرَطَعَمًاأرْبَعِيْنَ لَيْلة فَقَدْبَرِىءَمِنَ اللهَ وَبَرِىءَ مِنْهُ
Artinya:
“Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh malam sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah berlepas dari padanya”
Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun
2. Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik
3. Menimbun itu dilakuakn saat manusia sangat membutuhkan
B. TINGKAH LAKU TERCELA
1. Buruk Sangka
عَنْ ابي هريره رَضي الله عنه قل :قل رسول الله صللى عليه وسلم : إيَا كُمْ وَ الظٌنٌ، فَإنٌ الظَنٌ أكْذَبُ الحَديثِ,وَلاَتجَسٌسُوا,ولاتَبَاغَضُواوَلا تَدَابَرُوْاوَكوْنواعِبَاداللهِ إخْوَانًاكَمَا أمََرَكُمُ اللهَ تَعَلَى,المُسلِمِ لايَظْلِمَُهُ ولاَيَخْذُلُهُ وَلاَيحقِرُهُ,بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشٌرٌِأنْ يَحْقِرَأخَاهُ الْمُسْلِمُ,كُلٌ المُسْلِمُ على المُسلِمِ حَرَا مً:دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرُضُهُ,إنٌ اللهَ لاَيَنْظُرُإلَى أجْسَادِكُمْ وَلاَإلَى صُوَرِكُمْ,وَلَكِنْ يَنْظُرُإلَى قُلوْبِكُمْ وَأعْمَالِكُمْ,التٌقْوَى هَهُنا,وَيْشِيرُإلَى صَدْرِهِ.(روالبخارىومسلم)
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Hati hatilah (jangan) buruk sangka, karena sesungguhnya buruk sangka itu adalah berita yang paling dusta; janganlah memata-matai (mencari kesalahan); jangan mencari inforinasi; jangan saling men¬dengki; jangan saling memarahi; dan jangan saling bermusuhan. Kamu semuanya hamba Allah yang bersaudara, sebagai¬mana telah diperintahkan oleh Allah. Seorang muslim menjadi saudara muslim Yang lain, tidak menzaliminya, menelan¬tarkannya dan tidak menghinanya. Sese¬orang dianggap telah melakukan suatu kejahatan, (yaitu orang) yang menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya, haram darahnya, hartanya dan nama baiknya (kehor¬matannya). Sesungguhnya Allah tidak melihat jasadmu, dan tidak (pula) rupamu, tetapi Allah melihat hatimu dan amalanmu. Takwa (berada) di sini, takkwa (berada) di sini, takwa (berada) di sini, sambil menunjuk dadanya. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Buruk sangka adalah menduga-duga orang lain melakukan sesuatu yang jelek atau tercela, tanpa ada sebab dan dasar yang kuat. Biasanya orang buruk sangka itu, alasannya dibuat-buat. Mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya adalah dusta. Hal ini berarti, bahwa dusta yang paling jelek, adalah su’uzzon (buruk sangka) kepada seseorang. Perbuatan tersebut dilarang oleh Allah sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”(al-hujurat:12).
Orang yang buruk sangka berdosa, dan orang yang berdosa akan mendapat azab dari Allah. Dilihat dari segi apa pun, buruk sangka itu tetap tidak baik, bahkan membinasakan diri sendiri dan merusak nama baik orang lain.
2. Gibah Dan Buhtan
Sabda nabi saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضي الله عنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُونَ بِا لْغِيبَةُ ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرِهُ قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَهُ.( رواه مسلم)
“abu hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim)
- Imam al-Raghib mengatakan bahwa ghibah adalah “Seseorang menceritakan aib orang lain tanpa ada keperluan”.
- Menurut Imam al-Ghazaly, ghibah adalah “menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya andaikan hal itu sampai padanya”.
- Imam Nawawi mendefinisikannya dengan “Menceritakan seseorang pada saat dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukainya”. Definisi yang diberikan para ulama meskipun beragam, semuanya berdasarkan hadis Rasulullah:
- Dari beberapa pengertian gibah ini, pemakalah mengambil kesimpulan bahwa gibah ialah “Menceritakan seseorang pada saat dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukai tanpa ada tujuan yang diperbolehkan oleh syariat,sekalipun itu benar adanya”.
Berdasarkan pengertian di atas bahwa ghibah jika ada tujuan yang diperbolehkan syara’ maka hal itu boleh saja dan tidak tergolong ghibah yang dilarang oleh agama. Di antara tujuan-tujuan yang diperbolehkan itu adalah:
1. Melaporkan penganiayaan, Seorang yang dianiaya, berhak melaporkan penganiayaan terhadap aparat yang berwenang, baik presiden, hakim atau siapa saja yang memiliki wewenang untuk menangani kasus tersebut.
2. Minta tolong untuk merubah kemunkaran. Menggunjing diperbolehkan pula diwaktu meminta pertolongan agar sebuah kemunkaran dapat diubah atau agar seorang yang melakukan maksiat atau kesalahan itu dapat diarahkan ke jalan yang baik kembali.
3. Meminta fatwa
4. Mengingatkan penipuan atau menakut-nakuti
5. Menanyakan seseorang yang lebih dikenal dengan gelarnya. Menggunjing dengan menyebutkan gelar (negatif) yang lebih dikenal dari pada namanya sendiri itu diperbolehkan dan hal itu banyak terjadi dalam kalangan ulama-ulama besar Islam semisal al-A’masy, al-A’ma, al-A’raj dan gelar-gelar yang menjurus negatif akan tetapi tujuan menyebutkan hanya sebatas pengenalan bukan atas dasar menjatuhkan atau mencela. Jika bukan tujuan di atas, maka menyebutkan sifat atau gelar mereka termasuk ghibah yang dilarang oleh syara’.
6. Menceritakan orang yang sudah dikenal jahat.
Dari hadits rasulullah saw dapat dsimpulkan bahwa buhtan dapat dikatakan sama dengan fitnah, karena fitnah ini juga memiliki banyak makna, seperti yang dituliskan dalam buku akhlak social muslim, prilaku pribadi muslim, Al-Qur’an menyebutkan kata fitnah pada 34 tempat, dan digunakan untuk arti yang berbeda-beda. Tidak terhitung pula banyaknya hadits nabi Muhammad saw yang mengutuk pelaku-pelaku fitnah. Dalam kitab shahih Bukhori saja, memuat 78 hadits tentang fitnah.
Kejujuran adalah merupakan sifat mulia yang dapat memberi dampak positif sehingga nantinya akan melahirkan sifat terpercaya. Tetapi sebaliknya, sifat dusta akan mendatangkan dampak negatife bagi pelakunya.
Adapun cara tobat bagi orang yang melakukan buhtan, yakni berkata bobong atau memfitnah seseorang adalah sebagai berikut:
1. menarik kembali kabar bohong yang disampaikannya dahulu.
2. meminta maaf kepada orang yang difitnah.
3. meminta ampunan kepada Allah atas perbuatannya(buhtan), karena buhtan termasuk dosa besar yang sejajar dengan menyembah berhala, sebagaimana firman Allah SWT:

“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah Dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

C. Larangan Berbuat Boros (Konsumtif)
عَنْ ابي هريره رَضي الله عنه قل :قل رسول الله صللى الله عليه وسلم :إنَّ اللهَ تَعَلىَ يَرْضَ لَكُمْ ثَلاَ ثا وَيُكْرِهُ لَكُمْ ثلاَ ثاً فَيَرْضَ لَكُم أَنْ تَعْبُدُهُ وَلاَتُشْرِ كُوْا بِهِ شَيْأ وَأنْ تَعْصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تفَرَّ قُوْا ويُكْرِهُ لَكُمُ قِيْلَ وَقَا لَ وَكَثْرَةُ السُّوءَالِ وَاِضَاعَةُالمَالِ.
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. Menyukai tiga macam yaitu, kalau kamu menyembah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan supaya kamu ber pegang teguh dengan ikatan Allah, dan janganlah bercerai-cerai. Dan dia membenci bila kamu banyak bicara dan banyak bertanya dan memboroskan harta.”
1. Allah membenci hambanya bertanya yang tidak berguna
Belum tentu bila seseorang semakin banyak bertanya maka ilmu dan pengetahuan orang tersebut semakin luas. Kecuali jika yang ditanyakan tersebut adalah hal yang berhubungan dengan ilmu atau hal-hal yang berguna.
Terkadang banyak orang yang bertanya, bukan karena untuk menambah pengetahuannya, tetapi untuk memperolok-olok orang lain untuk mengetes pengetahuan orang lain atau mengukur sejauh mana pengetahuan orang yang ditanay itu, dan si penanya sudah mengetahui jawabannya. Jika yang ditanya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut maka sipenanya akan merasa sangat senang dan sombong.
Ada juga bertanya mengenai ketetapan agama yang tidak dapat di utak-atik lagi. Seperyi tentang masalah aqidah, bilangan shalat, keharaman zina, dan lain-lain. Menurut sebagian ilmuwan kontemporer, salah satu kelemahan umat islam adalah mempertanyakan dan mengutak-atik ajaran islam yang qath’i.
Bahaya tentang banyak bertanya sebagaimana hadist nabi:
عَنْ ابي هريره رَضي الله عنْهُ أنَّ النبيَ الله صللى عليه وسلم : دَعُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُوءَالِهِمْ وَاخْتِلا فِهِمْ عَلىَ أ ْنبِيا ئِهِمْ فَإِذانَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءِ فَا جْتَنِبُوهُ وَإِذاأَمَرَتُكُمْ بِأَمرٍ فَأ تَوْامِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ.)َ روالبخارىومسلم)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari nabi SAW, ia berkata, “Hentikanlah (menanyai) ku tentang apa yang aku abaikan untuk kalian. Sesungguhnya umat yang sebelum kalian telah binasa hanya di sebabkan mereka banyak bertanya dan mendebat para nabi mereka. Jika aku melarang kalian tentang sesuatu maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu maka lakukanlah semampu kalian .” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Kaum muslimin diajari oleh Rasulullah untuk efisien dalam bertanya, sehingga hanya yang penting saja, tidak menanyakan pertanyaan yang tidak berguna, ditakukan nanti akan keluar jawaban tentang perintah yang memberatkan, yang akibatnya adalah malah tidak menaati perintah itu.
Sudah saatnya umat islam bersatu kembali dan membuat berbagai penelitian atau mempertanyakan berbagai hala yang akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat islam.
2. Boros
Pemborosan merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan uang terhadap hal-hal yang tidak perlu sehinga merugikan diri sendiri dan keluarga. Umat islam juga mencela orang yang suka memboroskan uangnya terhadap hal-hal yang tidak berguna. Sifat pemurah tidak boleh berlebihan sehingga menelantarkan dirinya dan keluarganya.
Perbuatan boros juga dilakukan oleh orang yang pas-pasan. Tidak sedikit mereka memboroskan uangnya untuk hal-hal yang terlarang. Hidup boros merupakan ajakan setan yang selalu menggoda manusia agar menjadi temannya sebagaimana firman Allah SWT.

“ dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Terlihat jelas boros merupakan perbuatan tercela yang tidak disukai oleh Allah SWT, juga dibenci oleh mereka yang lebih membutuhkannya. Setiap muslim selalu mengingat bahwa dalam hartanya terdapat milik orang lain yang dititipkan oleh Allah SWT kepadanya.
Di hadis lain juga disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرْ عنْ النبيُ صللى الله عليه وسلم قَلَ :السَمْعُ وَالطّاعَةُ عَلىَ الْمَرْءِ المُسْلِمِ فِيْمَا أحَبَّ وَكَرِهَ مَالَمْ يَؤْمَرْ بِمَعْصِيَةِ فَإِذَاأُ مِرَ بِمَعْصِيَةِ فَلاَ سَمْعَ ولاَ طَاعَةَ.( روالبخارى)
“Dari Abdul bin Umar, dari nabi SAW, “ (Keharusan) mendengar dan taat atas orangMuslim itu bergantung terhadap apa yang ia senangi dan benci, selama belum di perintah kan untuk berbuat maksiat. Bila kemudian diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada lagi (Keharusan untuk) mendengar dan taat.”(Diriwayatkan Al-bukhari)”.
Membelanjakan hartanya bukan pada bidang yang ditentukan syara’ termasuk bidang-bidang yang tidak memberikan kemaslahatan agama, dunia, atau tidak juga membendung datangnya bahaya.
KESIMPULAN
1. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
2. Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijula kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga.
a. Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat.
b. Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.
3. Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun.
b. Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik
c. Menimbun itu dilakukan saat manusia sangat membutuhkan
4. Buruk sangka adalah menduga-duga orang lain melakukan sesuatu yang jelek atau tercela, tanpa ada sebab dan dasar yang kuat.
5. gibah ialah “Menceritakan seseorang pada saat dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukai tanpa ada tujuan yang diperbolehkan oleh syariat,sekalipun itu benar adanya”.
6. cara tobat bagi orang yang melakukan buhtan, yakni berkata bobong atau memfitnah seseorang adalah sebagai berikut:
a. menarik kembali kabar bohong yang disampaikannya dahulu.
b. meminta maaf kepada orang yang difitnah.
c. meminta ampunan kepada Allah atas perbuatannya(buhtan),
7. Pemborosan merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan uang terhadap hal-hal yang tidak perlu sehinga merugikan diri sendiri dan keluarga.

Daftar Pustaka

Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat Dalam Tasawuf



A.     Pengertian dan perbedaan Maqamat dan Tasawuf
Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, seperti memperbanyak zikir, beramal shaleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan muqamat/stasiun (jama’ dari maqam).
Rivay Siregar (2002:113), menjelaskan bahwa dikalangan sufi, orang pertama yang membahas masala tidak dapat dipisahkan h al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, adalah al-Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H).  namun siapapun yang pertama menyusun al-maqamat, tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah sejak abad 3 hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai latihan amalan, baik amalan lahiriah maupu batiniah.
·      Al-Ahwal
Menurut sufi, al-ahwal jama’ dari al-hal dalam bahasa inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya (Rivay, 2002:131). Dengan kata lain, seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebutnya sebagai maqamat (kedudukan/tingkatan) (Abdul Fattah, 200: 107).
Namun, penulis lebih sependapat dengan Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000:71) yang mengatakan bahwa hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Jelasnya, hal tidak sama denagan maqam, keduanya tidak dapat dipisahkan.

B.     Macam-macam Maqam dalam Tasawuf
Adapun tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:
1.      Taubat
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah Swt. dan dianjurkan Rasulullah Saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.

2.      Zuhud
Secara bahasa Zuhud: Uhud (arab) darwia; pertapa dalam islam; orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur (1997:1) menambahkan, zuhud berarti menghasilkan diri dari kesenagngan dunia untuk ibadah. Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid.

3.      Faqr (fakir)
Faqr adalah maqam yang bertujuan untuk menyucikan diri dari segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui faqr, para salik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba. Sehingga, perasaan itu melahirkan kepasrahan dan ketundukan.

4.      Sabr (sabar)
Fiman Allah Swt, dalam Q.Q. Az-Zumar: 10
Artinya:
 Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Al-Ghazali mengatakan, “Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkitan hawa nafsu”. Al junaid berkata bahwa sabar iti, “ menanggung beban demi Allah Swt. hingga  saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedangkan menurut Sahl At-Tusturi, “sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah”.

5.      Syukur
Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000:124) dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu taimiyyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah  dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat, disebut ‘sabar’. Menguatkan dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari susut pandang motivasi agama, disebut ‘syukur’.

6.      Tawakal
Kata ‘tawakal’ diambil dari akar kata ‘wakalah’ “Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata ‘mewakilkan’ disini berarti ‘menyerahkan’ atau ‘mempercayakan’. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ‘al wakil’(tumpuan perwakilan).
Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini. Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal”Hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn Abdullah berkata bahwa tawakal itu, “ Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap-Nya (Q.S. Al-Ma’idah:119).

7.      Ridho (rela)
Ridho berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatun atau seseorang. Ridho digambarkan sebagai “keteguhan di hadapan qadha”. Allah Swt, menyebutkan ridho dalam kitab-Nya.
Artinya:
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun rihda terhadap-Nya” (Q.S. Al-Ma’idah: 119)

Larangan Menimbun Makanan Pokok Kaum Muslimin

Dari Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605).
Ada yang bertanya kepada Sa'id (yakni Ibnul Musayyib), "Sesungguhnya engkau menimbun barang?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini juga menimbun barang."
Kandungan Bab:
  1. Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran sehingga otomatis harga lambung naik. 
  2. Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan. Apakah berlaku pada semua barang ataukah hanya pada bahan makanan pokok?
    At-Tirmidzi berkata dalam Sunannya (III/567), "Hukum inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnu Mubarak berkata, "Tidak mengapa menimbun kapas, sakhtiyan (kulit kambing yang sudah disimak) dan sejenisnya."
    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/178-179), "Para ulama berbeda pendapat tentang dalam masalam ihtikar. Dari 'Umar bahwa ia berkata, 'Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang mengimport (memasukkan) barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin ataukah musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya',"
    Dari 'Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan ats-Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, "Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar (konsumen)." Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku khusus pada bahan makanan saja karena hal itu merupakan kebutuhan pokok manusia. Adapun barang-barang lainnya tidaklah mengapa. Ini merupakan pendapat 'Abdullah bin al-Mubarak dan Ahmad.
    Imam Ahmad berkata, "Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku di tempat seperti kota Bashrah dan Bahgdad, karena kapal dapat berlabuh di sana."
    Al-Hasan dan al-Auza'i berkata, "Barangsiapa memasukkan bahan makanan dari luar lalu ia menyimpannya, menunggu sampai harga melonjak naik, maka ia tidak termasuk penimbunan barang. Penimbunan barang itu ialah memborong barang-barang pasar kaum Muslimin kemudian menimbunnya. Ahmad berkata, 'Jika masuk bahan makanan (dari luar) dengan usahanya lalu ia menyimpannya, maka ia tidak termasuk penimbunan barang'," Al-Baghawi berkata, "Meskipun hadits ini datang dengan lafazh yang umum kandungannya, namun penimbunan barang yang dilakukan perawi hadits menunjukkan bahwa hal itu berlaku khusus untuk barang tertentu atau khusus untuk kondisi tertentu karena tidak layak berprasangka buruk terhadap Sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits ini kemudian menyelisihinya. Demikian pula Sa'id bin al-Musayyib, tidak layak berprasangka negatif terhadapat beliau yang memiliki keutamaan dan ilmu bahwa beliau meriwayatkan hadits kemudian dengan sengaja menyelisihinya. Namun, larangan dalam hadits tersebut dibawakan kepada barang-barang tertentu. Diriwayatkan bahwa beliau menimbun minyak."
    An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim (XI/43), "Hadits ini dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar (penimbunan barang). Rekan-rekan kami (para madzhab Syafi'I mengatakan: 'Ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan bahan pokok tertentu, yaitu ia membelinya pada saat harga mahal untuk dijualnya kembali. Ia tidak menjualnya saat itu juga, namun ia simpan sampai harganya melonjak naik.' Adapun apabila ia mendatangkan bahan makanan itu dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya atau ia membelinya karena kebutuhannya kepada bahan makanan atau ia membelinya untuk dijual kembali pada saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidaklah diharamkan penimbunan padanya dalam kondisi bagaimana pun. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami."
    Para ulama mengatakan, "Hikmah pengharaman ihtikar ini adalah untuk mencegah munculnya perkara yang dapat merugikan orang banyak. Sebagaimana halnya para ulama sepakat bahwa bila seseorang memiliki bahan makanan lalu orang-orang sangat membutuhkannya dan mereka tidak mendapatkan selain itu, maka ia boleh dipaksa untuk menjualnya demi mencegah kemudharatan atas orang banyak. Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Sa'id bin al-Musayyib dan Ma'mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka dalam hal ini Ibnu 'Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, 'Sesungguhnya barang yang ditimbun oleh keduanya adalah minyak. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harganya mahal. Demikian juga Imam asy-Syafi'i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itu yang benar'," 
  3. Kesimpulan penjelasan para ulama tentang definisi ihtikar ini sebagai berikut:
    1. Dilihat dari kebutuhan manusian barang tersebut dan dengan tujuan menaikkan harga terhadap kaum Muslimin. Hal ini berlaku pada kebutuhan pokok manusia dan bahan makanan pokok mereka. 
    2. Penimbun barang yang berdosa adalah orang yang keluar masuk pasar untuk memborong kebutuhan pokok kaum Muslimin lalu ia menimbunnya dan melarang orang lain membelinya sehingga terjadilah mudharat dan kesulitan akibat perbuatannya.
      Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/338), "Kesimpulannya, 'illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum Muslimin. Tidak diharamkan penimbunan selama tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum Muslimin. Sama halnya barang tersebut bahan makanan pokok ataupun yang lainnya karena terpenting adalah tidak menimbulkan mudharat atas mereka." 
  4. Yang tidak termasuk bentuk ihtikar yang diharamkan adalah sebagai berikut:
    1. Menyimpan bahan makanan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya pada musim-musim panen yang nantinya untuk dijual kepada masyarakat ketika bahan makanan itu dibutuhkan. 
    2. Orang yang mengimport (mendatangkan) barang dari luar lalu menunggu harga naik. Wallaahu a'lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/215-217.

Hukum Menimbun Barang (Ihtikar)

Dari Ma’mar, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa“. [HR Muslim 1605]

Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
 Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”"
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
Kemudian para ulama berpendapat, “Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang benar.”"
Kesimpulan ihtikar adalah :
  1. Dilihat dari kebutuhan manusia kepada barang tersebut dengan tujuan menaikkan harga terhadap kaum  muslimin.
  2. Penimbun barang yang berdosa adalah orang yang keluar masuk pasar untuk memborong kebutuhan pokok kaum muslimin dengan cara monopoli dan menimbunnya.
Asy Syaukani mengatakan [Nailul Authaar V/338], “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin”.
Yang tidak termasuk ihtikar adalah :
  1. Menyimpan bahan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya pada saat panen, untuk kemudian dijual kembali kepada masyarakat.
  2. Orang yang mendatangkan (impor) barang, lalu menjualnya dengan menunggu harga naik.
Sumber :
Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka Imam Asy Syafi’i.

Rabu, 06 April 2011

DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT


A.     Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal Al-Maqamat
Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t seperti memperbanyakkan zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama’ dari maqam). Syamsun Ni'am (2001: 51) menambahkan, jalan itu sangat sulit dan untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, maqam adalah tingkatan salik dalam beribadah melalui latihan bertahap guna membangun jiwa seorang hamba Allah s.w.t.

A. Rivay Siregar (2002: 113), menjelaskan bahwa di kalangan sufi, orang pertama yang membahas masalah al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, adalah al Haris ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Namun, siapapun yang pertama menyusun al-maqomat, tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah sejak abad tiga hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf , ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai latihan amalan, baik amalan lahiriah maupun batiniah .

Al-Ahwal
            Menurut sufi, al-ahwal-jamak dari al-hal-dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya (Rivay, 2002: 131). Dengan kata lain, seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebutnya sebagai maqamat (kedudukan/tingkatan) (Abdul Fattah, 2000: 107).

Namun, penulis lebih sependapat dengan Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000:71) yang mengatakan bahwa hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Jelasnya, hal tidak sama dengan maqam, keduanya tidak dapat dipisahkan.

B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf
            Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:
1.      Taubat
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah s.a.w. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Menurut Sayyid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha (2003: 42), taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya. Taubat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seorang salik tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.
            Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeda sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.
            Taubat yang dilakukan adalah taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuhan)(Abdul Kadir al-Jilani, 2003: 73). Dalam hal ini, baik hati, lisan dan amal mencerminkan pertobatan. Beliau menganalogikan seseorang yang bertaubat nasuha seperti menggali akar (dosa) umbi dengan cangkul berupa didikan ruhaniah dari guru atau syekh yang sebenarnya (guru munsyid). Sebelum berladang atau berkebun, tanahnya harus dibersihkan terlebih dahulu dari akar-akar pohon, tunggul-tunggul pohon, dan semak-semak belukar. Rasulullah s.a.w. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
            Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya.
            Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi dalam Syamsun Ni’am (2001: 52), "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.
            Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222) Karena itu, ingat syarat taubat nasuha. Antara lain, pertama, segera meninggalkan dosa dan maksiat, kedua, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan dan ketiga, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa. Abdul Kadir al-Jilani (2003: 75) menegaskan bahwa tanda taubat yang diterima Allah s.w.t. adalah seseorang tidak akan mengulangi perbuatan dosa.

2.      Zuhud
Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur (1997: 1) menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid.
            Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia (Simuh, 1997: 58). Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat (Abdul Fattah, 2000: 117). Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah,”bahwa tangan terbebas dari harta dan hati terbebas dari angan-angan.” Michael A. Sells ( 2004: 266), seorang profesor perbandingan agama Haverford College berpendapat, zuhud adalah mengendalikan apa yang dihalalkan dan menjadi sebuah kewajiban melepaskan perkara yang diharamkan dan subhat.
            Ragam penafsiran mengenai zuhud ini, tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika mungkin mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya (Rivaiy, 2002: 116). Sehingga secara sederhana zuhud adalah sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi secara tidak berlebihan.
            Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
            Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23. Dari ayat itu, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintainya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.
            Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
            Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan atau derajat. Pertama, zuhudnya orang awam yaitu meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Kedua, zuhudnya orang khawash (orang khusus, orang istimewa), yaitu meninggalkan barang halal, jika barang halal itu dipandangnya telah berlebih dari kebutuhan dasarnya. Dan ketiga, zuhudnya orang ’arif (orang yang mengetahui hakikat Allah), yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya sibuk dan lalai dari mengingat Allah . Banyak orang yang berpandangan sempit terhadap zuhud. Zuhud dianggap harus meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma mengharap belas kasihan dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

3.      Faqr (Fakir)
Ibrahim ibn Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, ”Kefakiran adalah jubah dari mereka yang mulia, pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi para ’abid, dan penjara bagi para pendosa .
            Simuh (1997:62) mengutip, Abu Bakar al-Mishri berkata ”Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”. Sedang Abu ’Abdullah ibn Al-Jalla menjelaskan mengenai hakikat fakir, ”Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika engkau memiliki sesuatu, engkau masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak memilikinya, engkau tidak memilikinya”.
            Ragam interpretasi yang dijumpai di kalangan sufi mengenai istilah Faqr (al Faqr) ini. Meskipun demikian, pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan (Rivay,2002: 119).
            Jelasnya, faqk adalah maqam yang bertujuan untuk menyucikan diri dari segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui faqr, para salik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba. Sehingga, perasaan itu melahirkan kepasrahan dan ketundukan.

4.      Sabr (Sabar)
Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar [39]: 10 Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

 Al-Ghazali mengatakan,”Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.” Al Junaid berkata bahwa sabar itu, ”menanggung beban demi Allah s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, ”sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.”
            Walaupun definisi mengenai sabar dari masing-masing para ulama berbeda, pada hakikatnya adalah sama. Sebab secara garis besar, sabar dimaksudkan sebagai wujud ibadah hamba Allah dalam menggapai keridhaan-Nya. Dan orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai insan penyabar, ia akan memperoleh keberuntungan yang besar.

5.      Syukur
Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000: 124) dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi agama, disebut ’syukur’.
            Firman Allah swt. dalam QS. Lukman [31]:31, Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.
            Syukur kepada Allah merupakan bukti atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada hamba-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 59). Secara global syukur adalah “Sharfun ni’mah fi ma khuliqat lahu”(menggunakan nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya secara proporsional) . Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat . Dalam dataran aplikatif, syukur tidak hanya diwujudkan dalam lisan semata. Namun juga dinyatakan dalam gerak dan perasaan hati. Dengan demikian syukur itu merupakan perpaduan antara perilaku hati, lisan dan raga.

6.      Tawakal
Kata’tawakal’ diambil dari akar kata ’wakalah’. ”Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata ’mewakilkan’ di sini berarti ’menyerahkan’ atau ’mempercayakan’. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan perwakilan) .
            Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini. Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, ”hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu, ” Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.
            Berbagai sudut pandang dari para ulama dalam membahasakan istilah tawakal. Dan sebenarnya definisi dari mereka tidak saling berseberangan. Bahkan saling melengkapi. Sederhananya, tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik setelah melalui ikhtiar yang maksimal dari hamba tersebut. Sebab Simuh (1997: 66) menegaskan bahwa tawakal yang didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.

7.      Ridha (Rela)
Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan sebagai”keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya (QS. Al-Maidah[5]:119); Dan keridhaan Allah adalah lebih besar (QS Al-Taubah [9]:72). Dengan cara demikian, keridhaan Allah swt atas hamba-Nya jauh lebih besar daripada ridha atas-Nya dan mendahuluinya. Dzu Al-Nun berkata,”Kebahagiaan hati dengan berlalunya Qadha”. Ibn ’Atha berkata, ridha adalah takzimnya hati untuk pilihan abadi dari Tuhan untuk sang hamba karena dia tahu bahwa Dia s.w.t. telah memilihkan yang terbaik untuknya dan menerimanya serta melepaskan ketidakpuasannya.” Ibnu Khafif mengatakan, ridha adalah kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya . Sedang menurut Rabi’ah al-’Adawiyah, ridha adalah ”Jika dia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat” Sepertinya pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi (Rivay, 2002: 122). Segala peristiwa atau perihal yang terjadi dan dialami dihadapi dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqam terakhir dari perjalanan salik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan pada maqam ini. Para salik harus berjuang dan berkorban (mujahadah) secara bertahap serta terus-menerus melakukan riadhah. Namun, bukan berarti perjalanan para salik berhenti sampai di sini. Masih ada perjalanan selanjutnya yang mesti ditempuh dan tentunya masing-masing mereka akan mengalami pengalaman spiritual yang berbeda.

MUTLAK DAN MUQAYYAD


Mutlak adalah: lafadz yang telah menunjuk pada makna/pengertian  tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya.
Misal: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1) secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, 2) dan tidak dibatasi oleh kata-kata lain. 
Contoh dalam al qur’an adalah pada kata Raqabah dalam surat al Mujadilah: 3. bahwa kafarat dhihar adalah memerdekakan budak/Raqabah. 
Budak dalam ayat tersebut bermakna mutlak (memiliki pengertian  tertentu yang sudah kita pahami dan tidak dibatasi pada makna yang spesifik)


Muqayyad: adalah lafadz yang menunjuk pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu.
Misal: ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah,jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena 1) menunjuk pada pengertian/makna tertentu dan 2) dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.
Contoh dalam al qur’an misalnya kata kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga menjadi “raqabah mu’minah” dalam surat ani nisa’: 92 tentang kafarat pembunuhan.
Budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas memiliki makna muqayyad karena 1) menunnjuk pada makna tertentu dan 2) dibatasi dengan kata lainnya yakni budak mukmin bukan budak lainnya.

Persoalannya adalah bagaimana kita mengamalkan mutlak dan muqayyad ini? Pada dasarnya yang mutlak dikerjakan menurut makna mutlaknya, yang muqayyad dikerjakan sesuai muqayyadnya, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa yang mutlak dibawa ke muqayyad. maka bila ada dua nash yang satu bersifat mutlak yang kedua bersifat muqayyad bila hukumnya berbeda maka dikerjakan sesuai keadaannya masing-masing, tetapi bila hukumnya sama maka yang muqayyad wajib dibawa ke yang mutlak.

contoh: kedua ayat di atas bisa digabungkan, yakni raqabah dalam kafarat dhihar haruslah raqabah mukminah, tidak bisa hanya raqabah saja, karena dalil yang menunjukkan penggabungan ini adalah bahwa hukum kedua kafarat itu sama yakni sama-sama memerdekakan budak, maka budak yang dalam pengertian mutalk dibawa kepada budak dalam pengertian muqayyad, yakni budak mukmin.

tetapi bila mutlak dan muqayyad tidak bisa digabung karena hukumnya beda, maka mutlak tidak bisa digabung ke yang muqayyad. Misalnya ayat potong tanganbagi pencuri dan ayat membasuh tangan samapi siku dalam wudlu. Ayat potong tangan bagi pencuri bersifat mutlak sedang ayat membasuh tangan sampai sikudalam wudlu bersifat muqayyad. tetapi potong tangan bagi pencuri tidak bisa dibawa ke ayat membasuh tangan sampai siku dalam wudlu karena hukum keduanya berbeda. yakni potong tangan dan membasuh tangan. Maka ayat ini harus dikerjkan sendiri-sendiri. Ayat potong tangan sampai pergelangan tangan, ayat membasuh tangan sampai siku ketika berwudlu.

Sabtu, 02 April 2011

Pertumbuhan dan Perkembangan Psikologi



Sebagai manusia kita pasti mengenal istilah pertumbuhan dan perkembangan dan kita juga mengalaminya karena pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri makhluk hidup. Namun tak jarang dari kita yang tidak mengerti arti dari perkembangan dan pertumbuhan itu sendiri. Banyak ahli yang mencoba memahami dan menafsirkan arti pertumbuhan dan perkembangan. Dari berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan diartikan sebagai perubahan alamiah secara kuantitatif pada segi jasmaniah atau fisik dan atau menunjukkan kepada suatu fungsi tertentu yang baru (yang tadinya belum tampak) dari organisme atau individu. Konsep pertumbuhan mempunyai makna luas, mencangkup segi-segi kuantitatif dan kualitatif serta aspek-aspek fisik-psikis seperti yang terkandung dalam istilah-istilah pertumbuhan, kematangan dan belajar atau pendidikan dan latihan. Belajar atau pendidikan menunjukkan kepada perubahan pola-pola sambutan atau perilaku dan aspek-aspek kepribadian tertentu sebagai hasil usaha individu atau organisme yang bersangkutan dalam batas-batas waktu setelah tiba masa pekanya. Dengan demikian, dapat dibedakan bahwa perubahan-perubahan perilaku dan pribadi sebagai hasil belajar itu berlangsung secara intensional atau dengan sengaja diusahakan oleh individu yang bersangkutan, sedangkan perubahan dalam arti pertumbuhan dan kematangan berlangsung secara alamiah menurut jalannya pertambahan waktu atau usia yang ditempuh oleh yang bersangkutan. Pertumbuhan terbatas pada perubahan-perubahan yang bersifat evolusi (menuju ke arah yang lebih sempurna). Perubahan-perubahan aspek fisik dapat diidentifikasikan relative lebih mudah manifestasinya karena dapat dilakukan pengamatan langsung seperti tinggi dan berat badan, tanggal dan tumbuhnya gigi dan sebagainya. Lain halnya dengan segi-segi psikis yang relative sulit diidentifikasi karena kita hanya mengamati dan sampai batas tertentu.
Perkembangan diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik fisik maupun psikis.Perkembangan juga bertalian dengan beberapa konsep pertumbuhan (growth), kematangan (maturation), dan belajar (learning) serta latihan (training)..
Perkembangan individu dapat ditujukan dengan munculnya atau hilangnya, bertambah atau berkurangnya bagian-bagian, fungsi-fungsi atau sifat-sifat psikofisis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang sampai batas tertentu dapat diamati dan diukur dengan mempergunakan teknik dan instrument yang sesuai. Contoh perkembangan proses berpikir, kemampuan berbahasa dan lain-lain.
Dalam perkembangan terdapat fase dan tugas perkembangan. Fase perkembangan yaitu loncatan atau urutan perkembangan. Misalnya dari bayi menjadi anak-anak menjadi remaja menjadi tua dan akhirnya mati. Perkembangan setiap manusia itu berbeda tetapi dapat diamati keteraturannya atau dengan kata lain sudah ada urutannya. Dalam tugas perkembangan jika ada tugas yang tidak terpenuhi akan menjadi masalah atau problem bagi perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu sesulit apapun suatu tugas harus dapat diselesaikan untuk mempermudah dalam penyelesaian tugas perkembangan berikutnya. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa perkembangan itu sudah ada urutannya. Berikut adalah tugas dan fase perkembangan yang diambil dari kesimpulan beberapa ahli :
1. Masa Bayi
Masa bayi merupakan masa ketergantungan, masa ketidakberdayaan dan masa membutuhkan pertolongan orang lain, suatu masa yang menuntut kesabaran orang tua. Sang bayi akan memperoleh ketentraman ketentraman dan kesatuan jika bersama ibunya. Kesatuan ini akan berlangsung sampai batas-batas kemandiriannya menjadi kabur. Dalam masa ini harus ditanamkan kepercayaan terhadap anak. Tanpa kepercayaan, tidak ada perkembangan yang berarti
2. Masa Kanak-kanak
Masa ini adalah masa untuk berkelompok dan berorganisasi. Penerimaan oleh teman-teman seusianya adalah penting. Pada masa ini mudah sekali untuk memasukkan ilmu kepada anak-anak. Diibaratkan dalam masa ini otak anak-anak masih seperti kolam. Apa yang dilihat, didengar akan mengena sekali di otak. Pada masa ini anak-anak memiliki egosentris yaitu sifat egois pada masa anak-anak.
3. Masa Remaja
Masa ini masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Dalam masa ini pula seseorang mulai memikirkan tujuan hidupnya. Penerimaan ilmu dalam masa ini masih cenderung mudah diibaratkan pada masa ini otak masih seperti ember.
4. Masa Dewasa
Pada masa ini seseorang mulai mandiri. Seseorang mungkin kuliah di tempat lain, menikah ataupun bekerja di tempat lain. Pada masa ini pulalah seseorang biasanya sudah memperoleh pencapaian atau hal hal yang selama ini diinginkan. Misalnya sudah menjadi kepala sekolah ataupun telah menciptakan suatu karya besar.
5. Masa Tua
Pada masa ini seseorang telah mengalami banyak penurunan dan bisa kembali ke masa anak-anak. Sang kakek bisa saja berebut mainan ataupun meributkan hal yang sepele dengan cucunya. Hal ini terus berlanjut hingga akhir hayat dan selesailah pertumbuhan dan perkembangan seseorang.
Perkembangan dan pertumbuhan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara faktor yang satu dan yang lain tidak ada yang lebih dominan, semuanya itu saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor itu antara lain :
1. Faktor Genetik
Turunan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia lahir ke dunia ini membawa berbagai ragam warisan yang berasal dari kedua Ibu-Bapak atau nenek dan kakek. Warisan (turunan atau pembawaan) tersebut yang terpenting, antara lain bentuk tubuh, raut muka, warna kulit, inteligensi, bakat, sifat-sifat atau watak dan penyakit.Warisan atau turunan yang dibawa anak sejak lahir dari kandungan sebagian besar berasal dari kedua orang tuanya dan selebihnya berasal dari nenek dan moyangnya dari kedua belah pihak (ibu dan ayahnya). Hal ini sesuai dengan hukum Mendel yang dicetuskan Gregor Mendel (1857). Potensi genetic yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal.
2. Faktor eksternal / lingkungan
Mempengaruhi individu setiap hari mulai konsepsi sampai akhir hayatnya, dan sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Faktor eksternal yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Dalam lingkungan anak diajarkan tentang nilai-nilai budaya setempat.
Dengan faktor tertentu dan faktor lingkungan tertentu pula maka akan menghasilkan pola pertumbuhan dan perkembangan tertentu pula. Setiap individu lahir dengan hereditas tertentu. Namun individu itu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya baik lingkungan fisik, lingkungan psikologi, maupun lingkungan social. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakan hasil interaksi dari hereditas dan lingkungan.
Hubungan antara faktor hereditas dan lingkungan, faktor hereditas beroperasi dengan cara yang berbeda-beda menurut kondisi dan keadaan lingkungan yang berbeda-beda pula. Selain dengan interaksi hubungan antara hereditas dan lingkungan dapat pula digambarkan sebagai additive contribution (sama-sama menyumbang bagi pertumbuhan dan perkembangan fisiologi dan juga tingkah laku).
Setiap fase atau periode perkembangan pada dasarnya selalu bertalian erat dengan periode yang mendahuluinya. Sesuai dengan “individualitas anak” yang memiliki cirri-ciri atau karaktristik, perkembangan antara dua individu anak itu tidak mungkin bisa sama besar. Sekalipun terdapat perbedaan perkembangan yang bersifat individual, kita dapat melihat cara tertentu bagi semua individu yang sejenis. Secara spesifik, prinsip perkembangan dapat diartikan sebagai kaidah atau patokan yang menyatakan kesamaan sifat dan hakikat dalam perkembangan diri manusia.
Secara garis besar, peristiwa perkembangan mempunyai atau mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Perkembangan tidak terbatas dalam arti tumbuh menjadi besar tetapi antara perkembangan satu dengan yang lainnya koheren dan tidak berdiri sendiri
2. Perkembangan menuju proses berdifrensiasi dan integrasi. Manusia merupakan totalitas yang berkaitan erat antara perkembangan aspek fisik motorik, mental, emosi dan sosial, perhatian yang berlebihan kepada satu segi akan mempengaruhi segi lain.
3. Perkembangan dimulai dari respon-respon yang bersifat umum menuju yang khusus.
4. Tahap perkembangan manusia berlangsung berantai dan bersifat universal. Setiap fase memiliki sifat yang khas sehingga ada tingkah laku buruk. Para ahli mengatakan bahwa masa tenang atau equilibrium atau (ketika anak muda di atur penurut) pada masa ini setiap individu berusaha mengatasi kesulitannya berupa iritasi, frustasi, dan barikade-barikade pemenuhan kebutuhan. Masa disequilibrium atau tidak tenang (anak sukar diatur, mudah tersinggung, gelisah) masih tenang dan tidak tenang berganti terus menerus. Menurut Disquilibrium sehubungan dengan dinamika manusia anak itu malahan tidak mencari keseimbangan. Anak selalu berusaha memasuki dunia luar dengan jalan bereksplorasi dan berekspansi di dorong oleh rasa ingin tahu dan sekaligus untuk mengetes kemampuan sendiri.
5. Tempo perkembangan tiap-tiap anak berbeda-beda. Tempo perkembangan manusia pada umumnya terbagi menjadi kategori cepat, sedang, lambat. Teori perkembangan menujukan kelainan pada anak jika anak itu normal maka akan berkembang secara cepat begitu juga sebaliknya, tetapi tidak menunjukan kwalitas perkembangan setiap anak. Pada setiap anak terdapat impuls rangsangan untuk berkemban dengan caranya sendiri, untukmelatih kemampuan dan bakatnya. Maka terjadi proses pematangan yaitu, matang untuk berfungsi sebagai buah dari satu keberhasilan dan berlalunya satu fase perkembangan.
6. Perkembangan manusia tidak tetap kadang naik dan kadang turun perkembangan setiap anak mengalami dua masa pancaroba atau krisis disebut trotz. Terbagi menjadi dua priode
a. Trotz periode pertama terjadi pada usia 2 – 3 th dengan ciri utama anak menjadi egois, selalu bersikap dan bertingkah laku mendahulukan kepentingan sendiri
b. Trotz periode kedua, terjadi umur 14 – 17 th dimana anak sering membantah orang tuanya dalam mencapai identitas diri.
7. Dalam proses perkembangan banyak hal yang bersifat negatif tinggal bagaimana anak menyikapi hal tersebut, selain dorongan untuk mempertahankan diri ada pula dorongan untuk mengembangkan diri guna mendapat kemajuan baru. Paduan antara dorongan mempertahankan diri ini merupakan diri sinthes – integrasi baru, yaitu berwujud impuls realisasi diri dan transendesis diri (pengatasan diri sendiri untuk meningkat pada Niveau hidup lebih tinggi)
8. Anak punya masa peka, dimana fungsi jasmani dan rohani akan berkembang dengan baik jika terus mendapat latihan yang baik dan continue. Menurut Montesori masa peka hanya terjadi untuk tiap-tiap fungsi seumur hidup, karena itu bila lalai menggunakan masa-masa peka itu akan mengalami kerugian, asas-asas pendidikan Montesori yang berkenaan dengan masa peka
a. Anak-anak haruslah diberi kebebasan
b. Tidak diadakan latihan atau pendidikan secara klasikal
c. Tata tertib hendaknya bukanlah sesuatu yang dipaksakan yang dipaksakan oleh pendidiknya.
d. Pancaindra merupakan gejala utama dari isi jiwa manusia karena itu panca indra sangat diperhatikan dalam masa peka
9. Perkembangan dipengaruhi oleh hereditas dan faktor lingkungan, faktor hereditas tidak sepenuhnya mempengaruhi sifat seseorang. Pengaruh faktor lingkungan bila lingkungan tersebut baik akan membawa dampak yang baik pula untuk anak, anak jadi lebih bisa mengutarakan pendapatnya, lebih bisa berbicara di depan orang banyak, dan juga lebih bisa menghargai orang.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan dan pertumbuhan selain dikenal prinsip dikenal pula asas perkembangan. Asas itu jika diibaratkan sebuah bangunan maka dia berdiri sebagai fondasi atau yang menguatkan bangunan tersebut. Jadi prinsip akan semakin kuat tertanam dalam pikiran jika kita mempunyai asas yang baik. Asas dalam perkembangan ada 4 macam, yaitu :
1. Asas biologis
Asas ini mengemukakan bahwa anak akan terus mengalami perkembangan sampai akhir hayatnya. Perkembangan setiap anak itu berbeda satu sama lain tetapi memiliki struktur atau pola yang dapat diamati.
2. Asas Ketidakberdayaan
Bahwa setiap anak akan mengalami masa ketidakberdayaan yaitu ketika anak tersebut tidak dapat melakukan sesuatu dan sangat membutuhkan orang lain. Contohnya seorang bayi yang belum dapat melakukan sesuatu sangat membutuhkan orang tua untuk menjaganya.
3. Asas Eksplorasi
Bahwa anak akan terus mencari sampai mendapat jawaban yang sesuai dengan hatinya. Dia akan terus bertanya pada orang yang dianggapnya mampu dan bisa. Selain dengan bertanya anak juga dapat melakukan eksperimen sendiri ataupun mencari sumber yang relevan
4. Asas Keamanan
Anak dalam pertumbuhannya sangat membutuhkan keamanan. Keamanan tersebut dapat dia dapat dari orang tua ataupun saudara-saudaranya yang lain. Jika anak merasa tenang maka perkembangan juga tidak begitu terhambat