Sabtu, 28 Mei 2011

Sejarah Puasa





Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:
  1. Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta
  2. Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an, surat Maryam ayat 26 :
    "Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (Q.S. Maryam :26).
  3. Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi. Dan puasa-puasa kaum-kaum lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing kaum tersebut.
  4. Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah menunjukkan keluwesan Islam.

HIKMAH PUASA

Diwajibkannya puasa atas ummat Islam mempunyai hikmah yang dalam. Yakni merealisasikan ketakwaan kepada Allan swt. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183:
"Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalain bertakwa."

Kadar takwa tersebut terefleksi dalam tingkah laku, yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Al-Baqarah ayat 185 :
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". Ayat ini menjelaskan alasan yang melatarbelakangi mengapa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, tidak di bulan yang lain. Allah mengisyaratkan hikmah puasa bulan Ramadhan, yaitu karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan yang diistimewakan Allah dengan dengan menurunkan kenikmatan terbesar di dalamnya, yaitu al-Qur'an al-Karim yang akan menunjukan manusia ke jalan yang lurus. Ramadhan juga merupakan pengobat hati, rahmah bagi orang-orang yang beriman, dan sebagai pembersih hati serta penenang jiwa-raga. Inilah nikmat terbesar dan teragung. Maka wajib bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat tiap pagi dan sore.

Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan?

Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah :
"Hari ini adalah hari Asyura', dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya."

Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai pendapat lain: bahwa puasa yang diwajibkan pertamakali atas umat Islam adalah puasa Asyura'. Setelah datang Ramadhan Asyura' dirombak (mansukh). Madzhab ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah ra.: diriwayatkan dari Ibn 'Amr ra. bahwa Nabi saw. telah berpuasa hari Asyura' dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka lantas puasa Asyura' beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu 'Amr) juga tidak berpuasa". (H.R. Bukhari).

"Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura' pada masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura' sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barang siapa ingin berpuasa Asyura' silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa". (H.R. Bukhari dan Muslim).

Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura' sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura'), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan manyerukan ke ummatnya untuk melakukan puasa itu.

Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar hadis Ahaad (hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang). ”Ibn Abbas ra. meriwayatkan: ketika Nabi saw. sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura', lalu beliau bertanya: (puasa) apa ini? Mereka menjawab: ini adalah hari Nabi Saleh as., hari di mana Allah swt. memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as. melakukan puasa pada hari itu. Lalu Nabi saw. berkata: aku lebih berhak atas Musa dari kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebut dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa. (HR. Bukhari).

Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya'ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura terombak (mansukh). Sedang menurut madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura'.

Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-qur'an, Sunnah, dan Ijma.
"Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: Islam berdiri atas lima pilar: kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah (Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan."

Kata 'al-haj' (haji) didahulukan sebelum kata 'al-shaum' (puasa), itu menunjukkan pelaksanakaan haji lebih banyak menuntut pengorbanan waktu dan harta. Sedang dalam riwayat lain, kata 'al-shaum' didahulukan, karena kewajiban puasa lebih merata (bisa dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam) dari pada haji.

Kewajiban puasa Ramadhan sangat terang. Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.

DEFINISI PUASA

Secara etimologi, puasa berarti menahan, baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Seperti yang ditunjukkan firman Allah, surat Maryam ayat 26 :
"Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa demi Tuhan yang Maha Pemurah, bahwasanya aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (Q.S. Maryam : 26)

Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenarnnya matahari dengan memakai niat tertentu. Puasa Ramadhan wajib dilakukan, adakalanya karena telah melihat hitungan Sya'ban telah sempurna 30 hari penuh atau dengan melihat bulan pada malam tanggal 30 Sya'ban. Sesuai dengan hadits Nabi saw.

"Berpuasalah dengan karena kamu telah melihat bulan (ru'yat), dan berbukalah dengan berdasar ru'yat pula. Jika bulan tertutup mendung, maka genapkanlah Sya'ban menjadi 30 hari.

=================
Diambil dari buku "Pilar-pilar Islam dalam al-Sunnah" karya Prof. Dr. Umar Hasyim, oleh M. Rofiq Mu'allimin.

THAHARAH

I. PENGERTIAN THAHARAH

Thaharah berarti bersih ( nadlafah ), suci ( nazahah ) terbebas ( khulus ) dari kotoran ( danas ). Seperti tersebut dalam surat Al- A’raf ayat 82
إنّهم انا س يتطهّرون
Yang artinya : “ sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri “ . Dan pada surat al- baqorah ayat 222:
إنّ الله يحبّ التّوّابين و يحبّ المتطهّرين
Yang artinya : “ sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri “ .
Menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat ( menghilangkan ) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Ddengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.

II. THAHARAH DARI HADATS

Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.
A.WUDHU’
Menurut lughat ( bahasa ), adalah perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat. Mula-mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Dalil-dalil wajib wudhu’:
1. ayat Al-Qur'an surat al-maidah ayat 6 yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan sholat , maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kaimu sampai dengan ke dua mata kaki …”
2. Hadits Rasul SAW

لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi )
Fardhu wudhu’ yaitu :
1. niat 4. menyapu kepala
2. membasuh muka 5. membasuh kaki
3. membasuh tangan 6. tertib
Sunat wudhu’ yaitu :
1. membaca basmalah pada awalnya
2. membasuh ke dua telapak tangan sampai ke pergelangan sebanyak tiga kali, sebelum berkumur-kumur., walaupun diyakininya tangannya itu bersih
3. madmanah, yakni berkumur-kumur memasukan air ke mulut sambil mengguncangkannya lalu membuangnya.
4. istinsyaq, ykni memasukan air ke hidung kemudian membuangnya
5. meraatakan sapuan keseluruh lepala
6. menyapu kedua telinga
7. menyela-nyela janggut dengan jari
8. mendahulukan yang kana atas yang kiri
9. melakukan perbuatan bersuci itu tiga kali- tiga kali
10. muwalah, yakni melakukan perbuatan tersebut secara beruntun
11. menghadap kiblat
12. mengosok-gosok anggota wudhu’ khususnya bagian tumit
13. menggunakan air dengan hemat.
Terdapat tiga pendapat mengenai kumur – kumur dan menghisap air di dalam wudhu’ yaitu :
1. kedua perbuatan itu hukumnya sunah. Ini merupakan pendapat Imam Malik, asy- Syafi’I dan Abu hanifah.
2. keduanya fardhu’ , di dalam wudhu’. Dan ini perkataan Ibnu abu Laila dan kelompoka murid Abu Daud
3. menghisap air adalah fardhu’, dan berkumur-kumur adalah sunah. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, aabu Ubadah dan sekelompok ahli Zahir.
Dalam wudhu’ terdapat niat. Ada beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat bahwa niat itu menjadi syarat sahnya wudhu’ , mereka adlah Ima as- syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat tidak menjadi syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats- sauri. Perbedaan mereka karena , perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu sendiri. Yang memang bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal- hal yang mebatalkan wudhu’ :
1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun , benda padat atau cair, angin. Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun tidak, keluar sendirinya atau keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan hal in yaitu surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya “ … atau keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “
2. Tidur, kecuali duduk dalam keadaan mantap. Tidur merupakan kegiatan yang tidak kita sadari, maka lebih baik berwudhu’ lagi karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya ) dari duburnya akan keluar sesuatu tanpa ia sadari.
3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya. Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, degan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.
4. Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan .Firman Allah dalam surat An- nisa ayat 43 yanga artinya “ … atau kamu telah menyentuh perempuan ..” . Hal tersebut diatasi pada sentuhan :
• Antara kulit dengan kulit
• Laki- laki dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
• Diantara mereka tidk ada hubungan mahram
• Sentuhan langsung tanpa alas atau penghalang
5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa alas.



B. MANDI ( AL – GHUSL )

Menurut lughat, mandi di sebut al- ghasl atau al- ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat. Fardhu’ yang mesti dilakukan ketika mandi yaitu :
1. Niat. Niat tersebut harus pula di lakukan serentak dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit. Dlam hal membasuh rambut, air harus sampai kebagian dlam rambut yang tebal. Sanggul atau gulungan rambut wajib dibuka. Akan tetapi rambut yang menggumpal tidak wajib di basuh bagian dalamnya.
Untuk kesempurnaan mandi, di sunatkan pula mengerjakan hal-hal berikut ini:
1. membaca basmalah
2. membasuh tangan sebelum memasukannya ke dalam bejan
3. bewudhu’ dengan sempurna sebelum memulai mandi
4. menggosok seluruh tubuh yang terjangkau oleh tangannya
5. muwalah
6. mendahulukan menyiram bagian kanan dari tubuh
7. menyiram dan mengosok badan sebanyak- banyaknya tiga kali
Sebab –sebab yang mewajibkannya mandi :
1. mandi karena bersenggama
2. keluar mani
3. mati, kecuali mati sahid
4. haidh dan nifas
5. waladah ( melahirkan ). Perempuan diwajibkan mandi setelah melahirkan, walaupun ’ anak ‘ yang di lahirkannya itu belum sempurna. Misalnya masih merupakan darah beku ( alaqah ), atau segumpal daging ( mudghah ).

C. TAYAMMUM

Tayammum menurut lughat yaitu menyengaja. Menurut istilah syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan dengan beberapa syarat dan ketentuan .
Macam thaharah yang boleh di ganti dengan tayamumm yaitu bagi orang yang junub. Hal ini terdapat dalam surat al- maidah ayat 6 , yang artinya “ … dan jika kamu junubmaka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik ( bersih )… “.
Tayammum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. ada uzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Uzur mengunakan air itu terjadi dikarenakan sedang dalam perjalanan ( safir ), sakit, hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsungbertayammum tanpa harus mencari air lebih dulu.
b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c. Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu shalat
3. Mencari air setelah masuk waktu shalat, dengan mempertimbangkan pembahasan no I
4. Tidak dapat menggunakan air dikarenakan uzur syari’ seperti takut akan pencuri atau ketinggalan rombongan
5. Tanah yang murni ( khalis ) dan suci. Tayammum hanya sah dengan menggunakan ‘turab’ , tanah yang suci dan berdebu. Bahan-bahan lainnya seperti semen, batu, belerang, atau tanah yang bercampur dengannya, tidak sah dipergunakan untuk bertayammum.
Rukun tayammum, yaitu :
1. niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat disini ialah Hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat ini serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah ke wajah.
2. menyapu wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 yang artinya “…sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah mahapemaaf lagi maha pengampun “ .
3. menyapu kedua tangan.
Fuqoha berselisih pendpat mengenai batasan tangan yang diperintahkan Allah untuk disapu. Hal seperti tersebut terdapat dalam al- quran surat al- Midah ayat 6 yang artinya “ … sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu .. “ . berangkat dari ayat tersebut lahirlah pendapat berikut ini :
a. berpendirian bahwa batasan yang wajib untuk melakukan tayammum adalah sama dengan wudhu’ , yakni sampai dengan siku-siku ( madzhab maliki )
b. bahwa yang wajib adalah menyapu telapak tangan ( ahli zahir dan ahli Hadits )
c. berpendirian bahwa yang wajib hanyalah menyapu sampai siku-siku ( imam malik)
d. berpendirian bahwa yang wajib adalah menyapu sampai bahu. Pendapat yan asing ini diriwayatkan oleh Az- Zuhri dan Muhammad bin Maslamah .
4. tertib , yakni mendahulukan wajah daripada tangan .
Hal-hal yang sunat dikerjakan pada waktu tayammum yaitu :
1. membaca basmalah pada awalnya
2. mamulai sapuan dari bagian atas wajah
3. menipiskan debu di telapak tangan sebelum menyapukannya
4. meregangkan jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
5. mandahulukan tangan kanan dari tangan kiri
6. menyela nyela jari setelah menyapu kedua tangan
7. tidak mengangakat tangan dari anggota yang sedang disapu sebelum selesai menyapunya
8. muwalah.
Hal –hal yang membatalkan tayammum , yaitu semua yang membatalkan wudhu’ , melihat air sebelum melakukan sholat , murtad.

III. THAHARAH DARI NAJIS

Benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak keduanya, susu binaang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita.Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al- Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan (dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dngan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam malik dan asy- syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersiohkan najis adlah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air, ebagin fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yan belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.

Rabu, 25 Mei 2011

LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI


PENDAHULUAN
Islam mempunyai dua dasar atau sumber hukum, untuk mengatur umatnya kepada kehidupan yang baik, dan teratur tampa merugikan satu sama lain. Sumber hukum tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadits. Begitu juga dengan pemerolehan harta atau uang.
Aktivitas yang berkaitan dengan harta merupakan hal yang penting kita perhatikan, karena pada hari kiamat, ada dua pertanyaan yang berkaitan dengan harta, yaitu darimana kita memperoleh harta dan untuk apa kita pergunakan harta itu?
Salah satu bentuk memutar harta/uang di dalam Islam adalah aktivitas jual beli di pasar. Di dalam ekonomi Islam pembahasan mengenai ketidakadilan dalam pasar sudah diatur dengan jelas. Diantaranya keharaman ihtikaar (menimbun barang langka sehingga harga naik) yang biasanya terjadi akibat adanya monopoli oleh seseorang atau suatu perusahaan.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hukum atau aturan dalam islam maka dalam makalah ini akan membahas Hadits tentang larangan monopoli dan menimbun.







PEMBAHASAN
LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI
A.     LARANGAN TERHADAP TENGKULAK
وعن طا وس عن ابن عباس رضىا الله عنهما قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تلقوا الركبان ولا يبع حاضرلباد، قلت لابن عباس : ماقوله : ولا يبع حا ضر لباد؟ قال لا يكون له سمسارا (متفق عليه واللفظ للبخارى)
Artinya: “Dari Thawus, dari Ibnu Abas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu menjemput (mencegat) para pedagang yang membawa barang-barang dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran, dan janganlah orang kota menjual barang buat orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu Abas: apa yang dimaksut dari sabda rasul bahwa orang kota tidak boleh menjual dagangannya dengan orang desa itu ? jawab ibnu abas: maksudnya janganlah orang kota menjadi makelar atau perantara (penghubung yang memuji-muji dagangannya bagi orang desa.” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Muslim).
Tinjauan bahasa:
تلقوا :    menjegat, maksutnya pergi menjumpai kafilah sebelum mereka sampai dikota dan sebelum mereka mengetahui harga pasar.
الركبا :         para padagang yang biasanya menunggang unta dan sering disebut kafilah.
سمسارا :     makelar
حا ضر :     penduduk setempat
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, baik desa itu jauh meupun dekat dengan kota, baik diwaktu harga mahal ataupun murah (turun), baik di waktu penduduk kota memerlukan barang maupun tidak, baik menjual secara bertahap ataupun sekaligus.[1]
Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi pelantara bagi penduduk desa, dengan kata lain mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran itu diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah melakukan kebaikan bagi para penduduk.
Namun demikian, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tiada kata lain mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai dengan keinginan mereka perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam kerena sangat memudaratkan.
Penduduk desa sebenarnya dapat langsung pergi kekota untuk membeli barang tersebut, tidak melalui pelantara, akan tetapi karna kebodohan mereka atau sebab sebab lain, mereka tidak dapat pergi ke kota. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para perantara hingga penduduk desa membeli barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli barang tersebut karena sangat membutuhkan dan kebodohan mereka tentang harga sebenarnya.
Tentu saja berbeda hukumnya, bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara). Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.[2]
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk  ma’kah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.
Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
Rasulullah saw bersabda:

إذَا تَبَا يَعَ الرَّجُلاَ نِ فَكُلُّ وَاحِدٍمِنْهُمَا بِلْخِيَرِمَالَمْ يَتَفَرَّقَ وَكَانَا جَمِيْعًا أوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اْلاَخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَاحَدُهُمَااْلاَخَرَ,فَإِنْ خَيِّرَاَحَدُهُمَاهُمَااْلاَخَراْلاَخَرَفَتَبَا يَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْوَزَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَ بَعْدَ أَنْ يَتَبَا يَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدُ‘مِنْهُمَا َالبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَاالْبَيْعُ.
artinya:
“Apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut.” (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.[3]

B.     LARANGAN MENIMBUN BARANG POKOK
Sabda Rasulullah SAW:

وَ عَنْ مَعْمَرِ بْن ِعَبْدِ اللهِ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْ الله صَلى الله عَليْهِ وَسَلم قالَ :لا يَحْتكِرُ إلاخَاطِىءُ. )رواه مسلم(
Artinya:
“Dari Ma’mar bin Abdullah r.a. dari Rasulullah SAW beliau bersabda: Tidaklah yang menimbun itu, agar barang naik, kecuali orang yang bersalah.”(HR Muslim).
يَحْتكِر : Menimbun
خَاطِىءُ : Orang yang melakukan kesalahan (dosa)

وعن أبى هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من احتكر حتكرة يريدان يغلى ها على المسلمين وهو خا طئ (رواه أ حمد).
Artinya: “ Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: siapa yang menimbun serta timbun (barang) dengan maksud menaikkan harga bagi kaum muslim, maka orang itu adalah barsalah (berdosa).” (H.R. Ahmad).
وعن معقل بن يسار قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من دخل فى شى من اسعار المسلمين ليفليه عليهم كان حقا على الله أن يقعده بعظم من النار يوم القيا مة (رواه أحمد).

Artinya: “ Dari ma’qil bin yasar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mencampuri urusan harga bagi kaum  muslimin untuk tujuan menaikkan harga, maka Allah akan menempatkan dia didalam neraka pada kiamat nanti.” (H.R. Ahmad).
Perkataan menimbun maksudnya adalah memakan barang untuk tidak dijual. Secara lahiriah hadis diatas menunjukkan bahwa menimbun barang itu hukumnya adalah haram tanpa dibedakan antara makanan pokok manusia dengan binatang.
Ibnu ruslan berkata, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang disimpan manusia baik itu berupa bahan pokok maupun apa yang mereka perlukan seperti samin, madu dan lain-lain adalah boleh mereka simpan, sedangkan Rosul sendiri perna menyimpan untuk keluarganya, makanan pokok untuk selama satu tahun berupa tamar.
Ibnu Abdul Bar berkata, bahwa sesungguhnya Sa’id dam Ma’mar hanya menimbun minyak, sedangkan mereka menafsirkan hadis diatas kepada arti penyimpanan bahan pokok pada waktu dibutuhkan, demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan lain-lain. Hadis diatas menunjukkan bahwa penimbunan yang dilarang itu adalah ketika dalam keadaan barang-barang yang ditimbun itu dibutuhkan dan sengaja untuk tujuan menaikkan harga.
Dalam hadis barang siapa yang mencampuri harga (barang) kaum muslimin untuk menaikkan (harganya) itu. Abu Daud berkata: Aku perna bertanya kepada Imam Ahmad tentang bagaimana yang dikatakan menimbun itu. Ia menjawab: Yaitu bahan yang menjadi penghidupan manusia (bahan pokok).[4]
Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijula kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga. Ini merupakan pengertian secara terminologi. Kata al-Khaati’; Ar-Raqhib berkata “Al-khata’ adalah merubah arah. Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli.
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadis diantaranya:[5]
Sabda Rasulullah SAW:
Dari ibnu Umar, dari Nabi SAW
مَنْ احْتَكَرَطَعَمًاأرْبَعِيْنَ لَيْلة فَقَدْبَرِىءَمِنَ اللهَ وَبَرِىءَ مِنْهُ
Artinya:                                                                                                           
“Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh malam sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah berlepas dari padanya”
Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW

مَنِ احْتَكَرَحُكْرَة ًيُرِيْدُأنْ يُغَالِيَ بِهَاعَلَى ا لمُسْلِمِيْنَ فَهُوَخَطِئ

Artinya:
“Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”

Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
1.      Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun
2.      Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik
3.      Menimbun itu dilakuakn saat manusia sangat membutuhkan

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat saya simpulkan bahwa, perantara yang betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara), Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli. Dijelaskan pada hadits: “Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”












DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, Toto. Dkk. Hadits. 2002. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
      2011.
Rahmat Syafe’i,Al-Hadits, Aqidah, Akhlaq, Soaial, 2000, Bandung: Pustaka Setia.


[1] Toto haryanto, dkk, Hadits,IAIN Raden Fatah Press Palembang: 2002, hal. 81
[2] Rahmat Syafe’i,Al-Hadits, Aqidah, Akhlaq, Soaial, 2000, Pustaka Setia Bandung, hal. 172.
[4] Toto Haryanto, Op.cit , hal 81

Jumat, 20 Mei 2011

Monopoli dan Penentuan Harga

Pendahuluan
Aktivitas yang berkaitan dengan harta merupakan hal yang penting kita perhatikan, karena pada hari kiamat, ada dua pertanyaan yang berkaitan dengan harta, yaitu darimana kita memperoleh harta dan untuk apa kita pergunakan harta itu?
Salah satu bentuk memutar harta/uang di dalam Islam adalah aktivitas jual beli di pasar. Pembahasan mengenai pasar di dalam teori ekonomi konvensional disebutkan ada dua bentuk pasar yaitu pasar persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan tidak sempurna terbagi menjadi pasar monopoli, oligopoli dan monopolistik.
Di dalam ekonomi Islam pembahasan mengenai ketidakadilan dalam pasar sudah diatur dengan jelas. Diantaranya keharaman ihtikaar (menimbun barang langka sehingga harga naik) yang biasanya terjadi akibat adanya monopoli oleh seseorang atau suatu perusahaan. Pemerintah berhak mengaturnya jika terjadi hal demikian dengan cara pengawasan terhadap harga regulasi harga. Mengingat pentingnya pembahasan seputar masalah ini, maka penulis akan memaparkan tentang hukum memonopoli barang dan regulasi pemerintah terhadapnya ditinjau dari fikih Islam.
Hakikat Monopoli
Frank fisher menjelaskan kekuatan monopoli sebagai the ability to act in uncostrined way (kemampuan bertindak dalam (menentukan harga) dengan caranya sendiri, sedangkan Besanko (et.al.) menjelaskan monopoli sebagai penjual yang menghadapi little or no competition (kecil atau tidak ada persaingan) di pasar (Karim 2007).
Menurut Mankiw (2003) sebuah perusahaan disebut melakukan monopoli apabila perusahaan ini menjadi satu-satunya penjual produk di pasar, dan produk itu tidak memiliki substitusi/penggganti. Ciri utama monopoli adalah perusahaan lain sulit memasuki pasar dan bersaing dengan si monopolis.
Ada beberapa alasan sebuah perusahaan sulit memasuki pasar, antara lain:
· Sumber daya kunci dikuasai oleh satu perusahaan tunggal.
· Pemerintah memberi hak eksklusif kepada sebuah perusahaan tunggal untuk memproduksi dan menjual barang tertentu.
· Biaya-biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada sebuah perusahaan tunggal yang membuat produk itu daripada banyak perusahaan.
Hakikat Menimbun (Ihtikaar)
Menimbun dalam bahasa Arab adalah الاحْتِكارُ dari kata يحتكر- احتكر yang bermakna secara bahasa adalah al habsu (menahan) dan al jam’u (mengumpulkan). Ibnu Mandzur rahimahullah berkata:”Ihtikaar adalah menahan bahan makanan sambil menunggu (naiknya harga).[1]
Sedangkan menurut syara’ penimbunan barang adalah membeli suatu barang lalu menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat dan harganya menjadi mahal, sehingga masyarakat akan menderita (Sabiq 2006).[2]
Dalil-dalil tentang larangan ihtikaar 
Banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan larangan adanya praktik ihtikaar, diantaranya:
v Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah:
عن سعيد بن المسيب، عن معمر بن عبدالله عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال (لا يحتكر إلا خاطئ)
“Dari Sa’id ibnul Musayyib, dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa”.
Dan dalam redaksi riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan:
كان سعيد بن المسيب يحدث؛ أن معمرا قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (من احتكر فهو خاطئ). فقيل لسعيد: فإنك تحتكر؟ قال سعيد: إن معمرا الذي كان يحدث هذا الحديث كان يحتكر.
“Said ibnul Musayyib telah menceritakan, sesungguhnya Ma’mar berkata, Rasulullah bersabda:”Barangsiapa yang menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Said ditanya, “Kenapa engkau lakukan ihtikaar?” Said menjawab, “Sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikaar”.
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Sa’id dan Ma’mar hanya menimbun minyak, sedang mereka menafsirkan hadits dalam bab ini kepada arti penyimpanan bahan pokok pada waktu dibutuhkan, demikian juga Imam Syafii dan Abu Hanifah dll. Dan hadits itu juga menunjukkan penimbunan yang dilarang itu ialah ketika dalam keadaan barang-barang yang ditimbun itu dibutuhkan dan sengaja bertujuan menaikkan harga” (Faishal 2001).
v Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Hakim, Ibnu Adi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah
“من احتكر حكرة يريد أن يغالي بها على المسلمين فهو خاطئ” أخرجه الحاكم.
“Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa”.
v Hadits Riwayat Ibnu Majah, dan sanadnya hasan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah
“من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس” رواه ابن ماجة وإسناده حسن
“Barangsiapa yang menimbun bahan makanan bagi kaum muslimin, maka Allah akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan”.
v Hadits riwayat Ibnu Majah, Hakim, dan sanadnya dhaif menurut Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
الجالب مرزوق والمحتكر ملعون” أخرجه ابن ماجة والحاكم وإسناده ضعيف
“Orang yang mendatangkan barang akan diberi rizki, dan yang menimbun barang akan dilaknat”.
v Hadits riwayat Ahmad, Hakim, dan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani sanadnya diperbincangkan
وعن ابن عمر مرفوعا: “من احتكر طماعا أربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ منه”     أخرجه أحمد والحاكم وفي إسناده مقال
”Barangsiapa menimbun bahan makanan selama 40 malam, sungguh ia telah berlepas dari Allah dan Allah berlepas darinya”.
Monopoli dalam Tinjauan Fikih
Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikaar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan harga normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly’s rent-seeking (Karim 2007).
Begitu juga sikap Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, beliau tidak melihat jumlah penimbun barang, akan tetapi melarang menimbun barang baik dilakukan oleh seorang pedagang atau beberapa pedagang, dan menganggap barang yang dibeli adalah untuk semua penghuni pasar dari umat Islam. Umar tidak mengizinkan seorang pedagang atau berapa pedagang untuk mementingkan diri sendiri dan meninggalkan umat Islam yang lain (Al Haritsi 2006).
1. Pendapat Para Ulama Tentang Menimbun Barang
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikaar, setidaknya ada lima pendapat tentang masalah ini[3]:
v  Haram secara mutlak, jadi semua jenis barang yang dibutuhkan manusia (tidak hanya bahan makanan), ini adalah pendapat mayoritas para ulama (Imam Malik, Imam Syaukani rahimahumallah dan selainnya).
Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(لا يحتكر إلا خاطئ)
”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa”. (HR Muslim)
v  Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain itu maka diperbolehkan ini adalah pendapat Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Nawawi rahimahumullah. Dari Imam Ahmad rahimahullah dinukil pendapat bahwa yang diharamkan adalah menimbun bahan makanan pokok.
Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang diharamkan hanyalah menimbun bahan makanan pokok bukan lainnya dan tidak ada ukurannya apakah barang-barang itu cukup persediaan atau tidak. Alasannya adalah hadits riwayat Muslim tadi yang menyebutkan Said dan Ma’mar menyimpan minyak. Dhohirnya hadits tadi membolehkan ihtikaar selain bahan makanan.
v  Makruh secara mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi yang berkaitan dengan ihtikaar adalah terbatas pada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan kepada umatnya. Ini adalah pendapat al-Qodhi Husain rahimahullah.
v  Haram ihtikaar di sebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat selainnya, maka dibolehkan ihtikaar, hal ini karena kota Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikaar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, biasanya tidak memengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikaar di dalamnya. Asal perkataan ini oleh Imam Ahmad rahimahullah.
v  Boleh ihtikaar secara mutlak[4]. Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkannnya ihtikaar. Seperti dalam hadits riwayat Imam Bukhari rahimahullah:
رأيت الذين يشترون الطعام مجازفة، يضربون على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبيعوه حتى يؤووه إلى رحالهم.
“Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu”.
Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Seakan-akan Imam Bukhari menyimpulkannya dari perintah untuk memindahkan makanan ke tempat tinggal serta larangan menjual makanan sebelum selesai transaksi jual beli. Apabila menimbun barang itu haram hukumnya, tentu tidak akan ada perintah yang berakibat terjadinya penimbunan”.
Demikian pula tentang waktu diharamkannya monopoli. Ada ulama yang mengharamkan monopoli pada segala waktu, tanpa membedakan masa paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.
2. Pendapat yang Kuat Tentang Ihtikaar
Adapun pendapat yang terkuat menurut kami adalah diharamkannya ihtikaar mencakup semua jenis barang yang dibutuhkan oleh manusia. Hal ini karena karena keumuman hadits-hadits Nabi yang melarang ihtikaar, dalil-dalil itu bersifat umum, adapun beberapa hadits yang menyebutkan bahan makanan saja maka itu termasuk penyebutan contoh yang dilarang.
Jadi larangan menimbun/ihtikaar mencakup semua kebutuhan manusia secara umum baik bahan makanan atau lainnya, maka termasuk yang dilarang adalah menimbun sembako (beras, minyak, gula, dll), BBM, bahan bangunan, pupuk dan semua barang yang dibutuhkan manusia.
Ali (2008) menambahkan kriteria ihtikaar yang dilarang harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Ø  Barang yang ditimbun merupakan kebutuhan manusia secara umum baik berupa bahan makanan atau selainnya, karena suatu ketika kebutuhan manusia selain bahan makanan (seperti pakaian ketika musim dingin misalnya) lebih dibutuhkan daripada bahan makanan, dan kebutuhan mereka kepada bahan bakar minyak kadang-kadang lebih mereka rasakan daripada kebutuhan mereka terhadap bahan makanan.
Ø  Ihtikaar haram hukumnya apabila manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun tersebut, sehingga apabila ada orang yang menimbun beras misalnya tetapi saat itu beras melimpah dan manusia dapat membelinya dengan harga wajar maka saat itu menimbun tidak dilarang.
Ø  Orang yang menimbun barang dagangannya bermaksud menjual dengan harga yang tinggi sehingga menyulitkan manusia. Jadi apabila dia menjual dengan harga standar, sehingga tidak menyulitkan, bahkan memudahkan urusan mereka, maka ini tidak dilarang.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah juga memberikan kriteria yang hampir sama sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya fikih sunnah, para ahli fiqih berpendapat bahwa penimbunan barang diharamkan (terlarang) setelah memenuhi kriteria sebagai berikut:
Ø  Barang yang ditimbun lebih dari apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh. Karena seseorang hanya dibolehkan menyimpan atau menimbun persediaan nafkah pangan untuk diri sendiri dan keluarganya selama satu tahun, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ø  Pemilik tersebut menanti kenaikan harga barang agar pada saat menjualnya ia mendapatkan harga yang lebih tinggi.
Ø  Penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang-barang tersebut seperti makanan, pakaian dsb. Apabila barang-barang tersebut berada di tangan para pedagang dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan barang karena tidak menimbulkan kesulitan publik (Sabiq 2006).
3. Hikmah Larangan Ihtikaar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikaar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan.
Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam[5].
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.[6]
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia (Al Haritsi, 2006).

Regulasi Harga Ditinjau dari Perspektif Islam
Yang dimaksud meregulasi/menentukan harga adalah apabila penguasa atau wakilnya atau siapa saja yang memimpin umat Islam memerintahkan pelaku pasar untuk tidak menjual barangnya kecuali dengan harga tertentu, maka dilarang untuk menambah atau menguranginya untuk kemaslahatan.[7]
Salah satu cara pemerintah untuk mengatur dan mengawasi praktik-praktik monopoli adalah dengan meregulasi harga.
Regulasi harga menjadi topik dan pembahasan dan perselisihan di kalangan para ulama. Pendapat pertama adalah tidak diperbolehkannya penentuan harga, yang merupakan pendapat kebanyakan para ulama. Pendapat kedua mengatakan diperbolehkan menentukan harga apabila dibutuhkan. Sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa penguasa bisa melarang orang yang ingin menjual barang lebih murah dari yang dijual orang lain dan dikatakan kepadanya,”Juallah seperti orang lain menjual. apabila tidak, maka keluarlah dari kami, sehingga tidak membahayakan penghuni pasar (Al Haritsi 2006).
Menurut kami, pendapat yang terkuat adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Al Hisbah. Di buku itu dijelaskan bahwa penetapan harga ada yang boleh karena mengandung keadilan diantara manusia dengan cara memaksa mereka menjual barang dengan harga yang wajar atau melarang mereka mengambil harga melebihi harga wajar dalam kondisi yang mewajibkan mereka bersikap demikian.
Misalnya, jika pemiliki komoditi tertentu menahan untuk menjual barang-barang milik mereka kecuali dengan harga yang melebih harga normal atau komoditi itu tidak dijual kecuali oleh para pedagang tertentu, dan barang-barang tersebut juga tidak boleh dijual (oleh pemasok) kecuali kepada mereka, kemudian hanya mereka yang menjualnya dan melarang jika ada orang lain yang menjual barang tersebut, sedangkan masyarakat sangat membutuhkan komoditi itu. Dalam kondisi ini pemerintah wajib memaksa mereka menjual dengan harga wajar.
Penetapan harga yang tidak boleh apabila memaksa manusia menjual dengan sesuatu harga yang tidak mereka sukai dengan cara yang tidak benar, atau melarang mereka dalam hal-hal yang diperbolehkan Allah subhaanahu wa ta’aala. Misalnya, dalam kondisi normal mekanisme pasar berdasarkan teori supply and demand antara pedagang dan pembeli. Regulasi/ penetapan harga dalam kondisi seperti ini termasuk pemaksaan yang tidak benar. Inilah alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menentukan harga pada keadaan normal.
‏عن ‏ ‏أنس ‏ ‏قال ‏غلا السعر على عهد النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقال الناس يا رسول الله غلا السعر فسعر لنا فقال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏ إن الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وإني أرجو أن ألقى ربي وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة ظلمتها إياه بدم ولا مال
Dari Anas bahwa ia mengatakan: Harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Orang-orang berkata, ”Wahai Rasulullah, harga sudah membumbung, maka batasilah harga untuk kami para pembeli”, maka beliau menjawab, ”Sesungguhnya Allah-lah Yang menentukan harga, Yang menahan, dan Yang meluaskan rizki. Sesungguhnya aku bercita-cita untuk menemui Allah subhaanahu wa ta’aala nantinya, sedangkan tidak satupun di antara kamu yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan terhadap darah dan hartanya”. ( HR Abu Dawud, Ad Darimi, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari sahabat Anas radhiyallahu ’anhu).
Jadi, penetapan harga tidak diperbolehkan, selama tidak ada ihtikaar. Apabila ditemukan adanya ihtikaar, maka diperintahkan kepada yang melakukan ihtikaar untuk menjual dengan harga pasar dan penguasa mewajibkannya.
Karim (2007) menambahkan kebolehan price intervention antara lain karena:
Ø  Price Intervention menyangkut kepentingan masyarakat, yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing power.
Ø  Bila tidak dilakukan  price Intervention, maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara ihtikaar atau ghabn faahisy. Dalam hal ini si penjual menzalimi si pembeli.
Ø  Pembeli biasanya mewakili masayrakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili masyarakat yang lebih kecil. Sehingga price Intervention berarti pula melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Kesimpulan
Sebuah perusahaan disebut melakukan monopoli apabila perusahaan ini menjadi satu-satunya penjual produk di pasar, dan produk itu tidak memiliki substitusi/penggganti. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan harga normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly’s rent-seeking.
Ihtikaar merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Oleh karena itu penentuan harga oleh pemerintah apabila dibutuhkan misalnya karena terjadi ketidakseimbangan pasar adalah diperbolehkan sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Referensi
-Ahmad, Muhammad Al ‘Assal, Fathi Ahmad, Abdul Karim._____. Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuannya. Abu Ahmadi, Anshari Umar Sitanggal, penerjemah. Surabaya: PT Bina ILmu. Terjemahan dari: An Nidzaamul iqtishaadi fil islaam mabaadiuhu wahdaafuhu.
-Al Asqalani, Ibnu Hajar.______. Fathul Bari Penjelasan Kitab Shohih Al Bukhori. Amiruddin, penerjemah. Jakarta: Pustaka Azzam. Terjemahan dari: Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari
-Al Asqalani, Ibnu Hajar.______. Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhori. Beirut: Darul Fikr. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab. Asmuni Sholihan Zamakhsyari, penerjemah. Jakarta: Khalifa. Terjemahan dari: Al-Fiqh al-iqtishoodi li Amiiril Mu’miniin Umar Ibn al-Kaattab.
-Ali, Muhammad. 2008. Hukum menimbun barang dagangan. Dalam: Al Furqon Edisi 7 th ke-7, hlm.35-37 kolom 2
-Al Mubarokfuri.______.Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At Tirmidzi. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Al Quran dan Terjemahnya.
-An Nawawi.______.Syarh Shohiih Muslim An Nawawi. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Al Abadi, Muhammad Syamsul Haq Al Adziim._____.‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawuud. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Faishal bin Abdul Aziz. 2001. Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum. Surabaya: PT Bina Ilmu. Terjemahan dari: Bustaanul Ahbaar Mukhtashor Nailul Author.
-Ibnu Taimiyah. 2008. Success Business With Sharia Al Hisbah. Rafiqah Ahmad,  Alimin, penerjemah. Cilangkap: Migunani. Terjemahan dari: Al Hisbah.
-Ibnul Qoyyim. 1388 H. I’laamul Muwaqqi’iiin ’an Robbil ’Aalamiin. Kairo: Maktabah Al Kulliyyaat al Azhariyyah. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Karim, Adiwarman, 2007. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
-Mankiw, N. Gregory. 2003. Pengantar Ekonomi (Jilid I). Haris Munandar, penerjemah. Jakarta: Erlanggga. Terjemahan dari: Principles Economics, 2nd ed.
-Rahardja, Pratama, Manurung, Mandala. 2006. Pengantar Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
-Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. Nor Hasanuddin, penerjemah. Lebak Bulus: Pena Pundi Aksara. Terjemahan dari: Fiqhus Sunnah.
[1] Lihat lisaanul ‘arab untuk huruf ro’, pengertian ini hampir semuanya disebutkan oleh ulama ahli bahasa dalam kitab-kitabnya (lihat Qamus al muhiith, ash shihhaah fil lughoh, an nihaayah fi ghoriibil hadiits wal atsar, taajul ‘uruus).
[2] Demikian juga yang diartikan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab fathul bari-nya.
[3] Kami banyak menukil pembahasan ini dari majalah Al Furqon Edisi 7 th ke-7
[4] Sebagaimana dhohirnya perkataan Imam Bukhari yang menulis bab jual beli makanan dan penimbunan, akan tetapi hadits-hadits yang beliau cantumkan sama sekali tidak terdapat masalah penimbunan, seperti yang dikatakan oleh Al Ismaili (dinukil dari kitab fathul bari hlm.186-187).
[5] Dinukil dari majalah Al Furqon Edisi 7 th ke-7 hlm. 37 kolom 2.
[6] Al ‘Assal dan Abdul Karim dalam bukunya  Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuannya
[7] Pengertian ini dinukil dari Dr. Jaribah bin Ahmad Al Haritsi dalam bukunya Fikih Ekonomi Umar bin Khattab.

Rabu, 04 Mei 2011

KEUTAMAAN SHALAT RAWATIB, DUHA DAN TAHAJUD


KEUTAMAAN  SHALAT RAWATIB, DUHA DAN TAHAJUD
A.     Shalat Rawatib
Shalat Rawatib adalah shalat sunnat yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat lima waktu. Shalat yang dilakukan sebelumnya disebut shalat qabliyah, sedangkan yang dilakukan sesudahnya disebut shalat ba’diyah.
Berdasarkan Hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwa
Saya menghafal sepuluh rokaat dari Rosulullah: dua rokaat sebelum sholat zhuhur, dua rokaat setelah sholat zhuhur, dua rokaat setelah sholat maghrib di rumah beliau, dua rokaat setelah sholat isya’ di rumah beliau, dan dua rokaat sebelum subuh. Sebelum subuh ini adalah waktu di mana tidak seorang pun yang datang kepada Rosulullah SAW. Hafshah memberitahuku bahwa jika muazin mengumandangkan adzan dan fajar telah terbit, maka beliau sholat dua rokaat.
Berdasarkan hadist di atas dapat kita simpulkan bahwa sholat sunnah rowatib terdiri dari dua rokaat sebelum Dzuhur, dua rokaat setelah dzuhur, dua rokaat setelah maghrib, dua rokaat setelah isya’, dan dua rokaat sebelum subuh setelah terbit fajar.

Keutamaan Sholat sunnah Rawatib
Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.”
Yang paling utama dari sholat-sholat sunnah rowatib ini adalah sholat sunnah sebelum fajar. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata,
tidak ada sholat sunnah yang paling dijaga oleh Rosulullah selain dua rokaat fajar.
Rosulullah bersabda :
Dua rokaat sholat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya
Sungguh betapa besar amalan dari Sholat sunnah. Mari kita segera melaksanakannya.

B.     Shalat Duha
Allah SWT dalam beberapa ayat bersumpah dengan waktu dhuha. Dalam pembukaan surat Assyams, Allah berfirman, ''Demi matahari dan demi waktu dhuha.'' Bahkan, ada surat khusus di Alquran dengan nama Addhuha.
Pada pembukaannya, Allah berfirman, ''Demi waktu dhuha.'' Imam Arrazi menerangkan bahwa Allah SWT setiap bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan hal yang agung dan besar manfaatnya. Bila Allah bersumpah dengan waktu dhuha, berarti waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Benar, waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Di antara doa Rasulullah SAW: Allahumma baarik ummatii fii bukuurihaa. Artinya, ''Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku di waktu pagi.'
Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan bangun di waktu pagi (waktu subuh dan dhuha) untuk beribadah kepada Allah dan mencari nafkah yang halal, ia akan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, mereka yang terlena dalam mimpi-mimpi dan tidak sempat shalat Subuh pada waktunya, ia tidak kebagian keberkahan itu.
Abu Dzar meriwayatkan sebuah hadis. Rasulullah SAW bersabda, ''Bagi tiap-tiap ruas anggota tubuh kalian hendaklah dikeluarkan sedekah baginya setiap pagi. Satu kali membaca tasbih (subhanallah) adalah sedekah, satu kali membaca tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, satu kali membaca takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan, semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).
Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat. Dalam riwayat Ummu Hani', ''Kadang Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dhuha sampai delapan rakaat.'' (HR Muslim). Imam Attirmidzi dan Imam Atthabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa bila seseorang melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia berdiam di tempat shalatnya sampai tiba waktu dhuha, kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha, ia akan mendapatkan pahala seperti naik haji dan umrah diterima. Para ulama hadis merekomendasikan hadis ini kedudukannya hasan.
Jelaslah bahwa shalat Dhuha sangat penting bagi orang beriman. Penting bukan karena--seperti yang banyak dipersepsikan--shalat Dhuha ada hubungannya dengan mencari rezeki, melainkan ia penting karena sumpah Allah SWT dalam Alquran. Maka, sungguh bahagia orang-orang beriman yang memulai waktu paginya dengan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu dilanjutkan dengan shalat Dhuha.

C.     Shalat Tahajud
Shalat tahajut yakni shalat malam yaitu sangat dianjurkan, sebagai mana firman Allah Qs. Al-Isra’:
Artinya:
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.”
Didalam hadits nabi saw diterangkan ada 9 perkara kebajikan yang akan didapat oleh orang biasa mengerjakan shalat tahajud, seperti yang diterangkan dalam kitab Durrotan-naashihin yang terjemahannya adalah:
Hadits riwayat umar ibn hkatab ada dan rasulullah Saw barang siapa mengerjakan shalat tahajud diwaktu malam, dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya, bagus dan rapi tata tertipnya, maka Allah akan memberikan dia sembilan macam kemuliaan. Yang lima macam didunia dan empat macam di akhirat.
Adapunn yang lima perkara didunia ialah:
1.      1. Allah taala pelihara dia dari segala macam bala bencana.
2.      2. Berkat ketaatannya akan nampak kelihatann dimukanya.
3.      3. Dicintai oleh para hamba Allah yang shaleh disukai oleh manusia semua.
4.      4. Lidahnya mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmat
5.      5. Dia dijadikan orang yang bijaksana yakni diberi paham dalam agama.
Adapun yang empat macam diakhirat adalah:
1.      1. Dibangkitkan dari kuburnya dengan wajah bersinar
2.      2. Dia mendapat keringanan ketika dihisab.
3.      3. Dia melintas diatas shirat dihari kiamat, seperti kilat menyambar.
4.      4. Diberi buku catatan amalnya di tangan kanan.