Rabu, 06 April 2011

DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT


A.     Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal Al-Maqamat
Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t seperti memperbanyakkan zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama’ dari maqam). Syamsun Ni'am (2001: 51) menambahkan, jalan itu sangat sulit dan untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, maqam adalah tingkatan salik dalam beribadah melalui latihan bertahap guna membangun jiwa seorang hamba Allah s.w.t.

A. Rivay Siregar (2002: 113), menjelaskan bahwa di kalangan sufi, orang pertama yang membahas masalah al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, adalah al Haris ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Namun, siapapun yang pertama menyusun al-maqomat, tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah sejak abad tiga hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf , ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai latihan amalan, baik amalan lahiriah maupun batiniah .

Al-Ahwal
            Menurut sufi, al-ahwal-jamak dari al-hal-dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya (Rivay, 2002: 131). Dengan kata lain, seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebutnya sebagai maqamat (kedudukan/tingkatan) (Abdul Fattah, 2000: 107).

Namun, penulis lebih sependapat dengan Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000:71) yang mengatakan bahwa hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Jelasnya, hal tidak sama dengan maqam, keduanya tidak dapat dipisahkan.

B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf
            Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:
1.      Taubat
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah s.a.w. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Menurut Sayyid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha (2003: 42), taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya. Taubat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seorang salik tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.
            Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeda sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.
            Taubat yang dilakukan adalah taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuhan)(Abdul Kadir al-Jilani, 2003: 73). Dalam hal ini, baik hati, lisan dan amal mencerminkan pertobatan. Beliau menganalogikan seseorang yang bertaubat nasuha seperti menggali akar (dosa) umbi dengan cangkul berupa didikan ruhaniah dari guru atau syekh yang sebenarnya (guru munsyid). Sebelum berladang atau berkebun, tanahnya harus dibersihkan terlebih dahulu dari akar-akar pohon, tunggul-tunggul pohon, dan semak-semak belukar. Rasulullah s.a.w. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
            Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya.
            Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi dalam Syamsun Ni’am (2001: 52), "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.
            Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222) Karena itu, ingat syarat taubat nasuha. Antara lain, pertama, segera meninggalkan dosa dan maksiat, kedua, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan dan ketiga, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa. Abdul Kadir al-Jilani (2003: 75) menegaskan bahwa tanda taubat yang diterima Allah s.w.t. adalah seseorang tidak akan mengulangi perbuatan dosa.

2.      Zuhud
Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur (1997: 1) menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid.
            Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia (Simuh, 1997: 58). Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat (Abdul Fattah, 2000: 117). Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah,”bahwa tangan terbebas dari harta dan hati terbebas dari angan-angan.” Michael A. Sells ( 2004: 266), seorang profesor perbandingan agama Haverford College berpendapat, zuhud adalah mengendalikan apa yang dihalalkan dan menjadi sebuah kewajiban melepaskan perkara yang diharamkan dan subhat.
            Ragam penafsiran mengenai zuhud ini, tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika mungkin mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya (Rivaiy, 2002: 116). Sehingga secara sederhana zuhud adalah sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi secara tidak berlebihan.
            Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
            Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23. Dari ayat itu, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintainya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.
            Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
            Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan atau derajat. Pertama, zuhudnya orang awam yaitu meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Kedua, zuhudnya orang khawash (orang khusus, orang istimewa), yaitu meninggalkan barang halal, jika barang halal itu dipandangnya telah berlebih dari kebutuhan dasarnya. Dan ketiga, zuhudnya orang ’arif (orang yang mengetahui hakikat Allah), yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya sibuk dan lalai dari mengingat Allah . Banyak orang yang berpandangan sempit terhadap zuhud. Zuhud dianggap harus meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma mengharap belas kasihan dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

3.      Faqr (Fakir)
Ibrahim ibn Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, ”Kefakiran adalah jubah dari mereka yang mulia, pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi para ’abid, dan penjara bagi para pendosa .
            Simuh (1997:62) mengutip, Abu Bakar al-Mishri berkata ”Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”. Sedang Abu ’Abdullah ibn Al-Jalla menjelaskan mengenai hakikat fakir, ”Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika engkau memiliki sesuatu, engkau masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak memilikinya, engkau tidak memilikinya”.
            Ragam interpretasi yang dijumpai di kalangan sufi mengenai istilah Faqr (al Faqr) ini. Meskipun demikian, pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan (Rivay,2002: 119).
            Jelasnya, faqk adalah maqam yang bertujuan untuk menyucikan diri dari segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui faqr, para salik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba. Sehingga, perasaan itu melahirkan kepasrahan dan ketundukan.

4.      Sabr (Sabar)
Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar [39]: 10 Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

 Al-Ghazali mengatakan,”Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.” Al Junaid berkata bahwa sabar itu, ”menanggung beban demi Allah s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, ”sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.”
            Walaupun definisi mengenai sabar dari masing-masing para ulama berbeda, pada hakikatnya adalah sama. Sebab secara garis besar, sabar dimaksudkan sebagai wujud ibadah hamba Allah dalam menggapai keridhaan-Nya. Dan orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai insan penyabar, ia akan memperoleh keberuntungan yang besar.

5.      Syukur
Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000: 124) dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi agama, disebut ’syukur’.
            Firman Allah swt. dalam QS. Lukman [31]:31, Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.
            Syukur kepada Allah merupakan bukti atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada hamba-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 59). Secara global syukur adalah “Sharfun ni’mah fi ma khuliqat lahu”(menggunakan nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya secara proporsional) . Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat . Dalam dataran aplikatif, syukur tidak hanya diwujudkan dalam lisan semata. Namun juga dinyatakan dalam gerak dan perasaan hati. Dengan demikian syukur itu merupakan perpaduan antara perilaku hati, lisan dan raga.

6.      Tawakal
Kata’tawakal’ diambil dari akar kata ’wakalah’. ”Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata ’mewakilkan’ di sini berarti ’menyerahkan’ atau ’mempercayakan’. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan perwakilan) .
            Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini. Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, ”hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu, ” Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.
            Berbagai sudut pandang dari para ulama dalam membahasakan istilah tawakal. Dan sebenarnya definisi dari mereka tidak saling berseberangan. Bahkan saling melengkapi. Sederhananya, tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik setelah melalui ikhtiar yang maksimal dari hamba tersebut. Sebab Simuh (1997: 66) menegaskan bahwa tawakal yang didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.

7.      Ridha (Rela)
Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan sebagai”keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya (QS. Al-Maidah[5]:119); Dan keridhaan Allah adalah lebih besar (QS Al-Taubah [9]:72). Dengan cara demikian, keridhaan Allah swt atas hamba-Nya jauh lebih besar daripada ridha atas-Nya dan mendahuluinya. Dzu Al-Nun berkata,”Kebahagiaan hati dengan berlalunya Qadha”. Ibn ’Atha berkata, ridha adalah takzimnya hati untuk pilihan abadi dari Tuhan untuk sang hamba karena dia tahu bahwa Dia s.w.t. telah memilihkan yang terbaik untuknya dan menerimanya serta melepaskan ketidakpuasannya.” Ibnu Khafif mengatakan, ridha adalah kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya . Sedang menurut Rabi’ah al-’Adawiyah, ridha adalah ”Jika dia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat” Sepertinya pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi (Rivay, 2002: 122). Segala peristiwa atau perihal yang terjadi dan dialami dihadapi dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqam terakhir dari perjalanan salik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan pada maqam ini. Para salik harus berjuang dan berkorban (mujahadah) secara bertahap serta terus-menerus melakukan riadhah. Namun, bukan berarti perjalanan para salik berhenti sampai di sini. Masih ada perjalanan selanjutnya yang mesti ditempuh dan tentunya masing-masing mereka akan mengalami pengalaman spiritual yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar