Jumat, 20 Mei 2011

Monopoli dan Penentuan Harga

Pendahuluan
Aktivitas yang berkaitan dengan harta merupakan hal yang penting kita perhatikan, karena pada hari kiamat, ada dua pertanyaan yang berkaitan dengan harta, yaitu darimana kita memperoleh harta dan untuk apa kita pergunakan harta itu?
Salah satu bentuk memutar harta/uang di dalam Islam adalah aktivitas jual beli di pasar. Pembahasan mengenai pasar di dalam teori ekonomi konvensional disebutkan ada dua bentuk pasar yaitu pasar persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan tidak sempurna terbagi menjadi pasar monopoli, oligopoli dan monopolistik.
Di dalam ekonomi Islam pembahasan mengenai ketidakadilan dalam pasar sudah diatur dengan jelas. Diantaranya keharaman ihtikaar (menimbun barang langka sehingga harga naik) yang biasanya terjadi akibat adanya monopoli oleh seseorang atau suatu perusahaan. Pemerintah berhak mengaturnya jika terjadi hal demikian dengan cara pengawasan terhadap harga regulasi harga. Mengingat pentingnya pembahasan seputar masalah ini, maka penulis akan memaparkan tentang hukum memonopoli barang dan regulasi pemerintah terhadapnya ditinjau dari fikih Islam.
Hakikat Monopoli
Frank fisher menjelaskan kekuatan monopoli sebagai the ability to act in uncostrined way (kemampuan bertindak dalam (menentukan harga) dengan caranya sendiri, sedangkan Besanko (et.al.) menjelaskan monopoli sebagai penjual yang menghadapi little or no competition (kecil atau tidak ada persaingan) di pasar (Karim 2007).
Menurut Mankiw (2003) sebuah perusahaan disebut melakukan monopoli apabila perusahaan ini menjadi satu-satunya penjual produk di pasar, dan produk itu tidak memiliki substitusi/penggganti. Ciri utama monopoli adalah perusahaan lain sulit memasuki pasar dan bersaing dengan si monopolis.
Ada beberapa alasan sebuah perusahaan sulit memasuki pasar, antara lain:
· Sumber daya kunci dikuasai oleh satu perusahaan tunggal.
· Pemerintah memberi hak eksklusif kepada sebuah perusahaan tunggal untuk memproduksi dan menjual barang tertentu.
· Biaya-biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada sebuah perusahaan tunggal yang membuat produk itu daripada banyak perusahaan.
Hakikat Menimbun (Ihtikaar)
Menimbun dalam bahasa Arab adalah الاحْتِكارُ dari kata يحتكر- احتكر yang bermakna secara bahasa adalah al habsu (menahan) dan al jam’u (mengumpulkan). Ibnu Mandzur rahimahullah berkata:”Ihtikaar adalah menahan bahan makanan sambil menunggu (naiknya harga).[1]
Sedangkan menurut syara’ penimbunan barang adalah membeli suatu barang lalu menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat dan harganya menjadi mahal, sehingga masyarakat akan menderita (Sabiq 2006).[2]
Dalil-dalil tentang larangan ihtikaar 
Banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan larangan adanya praktik ihtikaar, diantaranya:
v Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah:
عن سعيد بن المسيب، عن معمر بن عبدالله عن رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال (لا يحتكر إلا خاطئ)
“Dari Sa’id ibnul Musayyib, dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa”.
Dan dalam redaksi riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan:
كان سعيد بن المسيب يحدث؛ أن معمرا قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (من احتكر فهو خاطئ). فقيل لسعيد: فإنك تحتكر؟ قال سعيد: إن معمرا الذي كان يحدث هذا الحديث كان يحتكر.
“Said ibnul Musayyib telah menceritakan, sesungguhnya Ma’mar berkata, Rasulullah bersabda:”Barangsiapa yang menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Said ditanya, “Kenapa engkau lakukan ihtikaar?” Said menjawab, “Sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikaar”.
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Sa’id dan Ma’mar hanya menimbun minyak, sedang mereka menafsirkan hadits dalam bab ini kepada arti penyimpanan bahan pokok pada waktu dibutuhkan, demikian juga Imam Syafii dan Abu Hanifah dll. Dan hadits itu juga menunjukkan penimbunan yang dilarang itu ialah ketika dalam keadaan barang-barang yang ditimbun itu dibutuhkan dan sengaja bertujuan menaikkan harga” (Faishal 2001).
v Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Hakim, Ibnu Adi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah
“من احتكر حكرة يريد أن يغالي بها على المسلمين فهو خاطئ” أخرجه الحاكم.
“Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa”.
v Hadits Riwayat Ibnu Majah, dan sanadnya hasan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah
“من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس” رواه ابن ماجة وإسناده حسن
“Barangsiapa yang menimbun bahan makanan bagi kaum muslimin, maka Allah akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan”.
v Hadits riwayat Ibnu Majah, Hakim, dan sanadnya dhaif menurut Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
الجالب مرزوق والمحتكر ملعون” أخرجه ابن ماجة والحاكم وإسناده ضعيف
“Orang yang mendatangkan barang akan diberi rizki, dan yang menimbun barang akan dilaknat”.
v Hadits riwayat Ahmad, Hakim, dan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani sanadnya diperbincangkan
وعن ابن عمر مرفوعا: “من احتكر طماعا أربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ منه”     أخرجه أحمد والحاكم وفي إسناده مقال
”Barangsiapa menimbun bahan makanan selama 40 malam, sungguh ia telah berlepas dari Allah dan Allah berlepas darinya”.
Monopoli dalam Tinjauan Fikih
Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikaar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan harga normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly’s rent-seeking (Karim 2007).
Begitu juga sikap Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, beliau tidak melihat jumlah penimbun barang, akan tetapi melarang menimbun barang baik dilakukan oleh seorang pedagang atau beberapa pedagang, dan menganggap barang yang dibeli adalah untuk semua penghuni pasar dari umat Islam. Umar tidak mengizinkan seorang pedagang atau berapa pedagang untuk mementingkan diri sendiri dan meninggalkan umat Islam yang lain (Al Haritsi 2006).
1. Pendapat Para Ulama Tentang Menimbun Barang
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikaar, setidaknya ada lima pendapat tentang masalah ini[3]:
v  Haram secara mutlak, jadi semua jenis barang yang dibutuhkan manusia (tidak hanya bahan makanan), ini adalah pendapat mayoritas para ulama (Imam Malik, Imam Syaukani rahimahumallah dan selainnya).
Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(لا يحتكر إلا خاطئ)
”Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa”. (HR Muslim)
v  Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain itu maka diperbolehkan ini adalah pendapat Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Nawawi rahimahumullah. Dari Imam Ahmad rahimahullah dinukil pendapat bahwa yang diharamkan adalah menimbun bahan makanan pokok.
Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang diharamkan hanyalah menimbun bahan makanan pokok bukan lainnya dan tidak ada ukurannya apakah barang-barang itu cukup persediaan atau tidak. Alasannya adalah hadits riwayat Muslim tadi yang menyebutkan Said dan Ma’mar menyimpan minyak. Dhohirnya hadits tadi membolehkan ihtikaar selain bahan makanan.
v  Makruh secara mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi yang berkaitan dengan ihtikaar adalah terbatas pada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan kepada umatnya. Ini adalah pendapat al-Qodhi Husain rahimahullah.
v  Haram ihtikaar di sebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat selainnya, maka dibolehkan ihtikaar, hal ini karena kota Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikaar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, biasanya tidak memengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikaar di dalamnya. Asal perkataan ini oleh Imam Ahmad rahimahullah.
v  Boleh ihtikaar secara mutlak[4]. Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkannnya ihtikaar. Seperti dalam hadits riwayat Imam Bukhari rahimahullah:
رأيت الذين يشترون الطعام مجازفة، يضربون على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبيعوه حتى يؤووه إلى رحالهم.
“Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu”.
Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Seakan-akan Imam Bukhari menyimpulkannya dari perintah untuk memindahkan makanan ke tempat tinggal serta larangan menjual makanan sebelum selesai transaksi jual beli. Apabila menimbun barang itu haram hukumnya, tentu tidak akan ada perintah yang berakibat terjadinya penimbunan”.
Demikian pula tentang waktu diharamkannya monopoli. Ada ulama yang mengharamkan monopoli pada segala waktu, tanpa membedakan masa paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.
2. Pendapat yang Kuat Tentang Ihtikaar
Adapun pendapat yang terkuat menurut kami adalah diharamkannya ihtikaar mencakup semua jenis barang yang dibutuhkan oleh manusia. Hal ini karena karena keumuman hadits-hadits Nabi yang melarang ihtikaar, dalil-dalil itu bersifat umum, adapun beberapa hadits yang menyebutkan bahan makanan saja maka itu termasuk penyebutan contoh yang dilarang.
Jadi larangan menimbun/ihtikaar mencakup semua kebutuhan manusia secara umum baik bahan makanan atau lainnya, maka termasuk yang dilarang adalah menimbun sembako (beras, minyak, gula, dll), BBM, bahan bangunan, pupuk dan semua barang yang dibutuhkan manusia.
Ali (2008) menambahkan kriteria ihtikaar yang dilarang harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Ø  Barang yang ditimbun merupakan kebutuhan manusia secara umum baik berupa bahan makanan atau selainnya, karena suatu ketika kebutuhan manusia selain bahan makanan (seperti pakaian ketika musim dingin misalnya) lebih dibutuhkan daripada bahan makanan, dan kebutuhan mereka kepada bahan bakar minyak kadang-kadang lebih mereka rasakan daripada kebutuhan mereka terhadap bahan makanan.
Ø  Ihtikaar haram hukumnya apabila manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun tersebut, sehingga apabila ada orang yang menimbun beras misalnya tetapi saat itu beras melimpah dan manusia dapat membelinya dengan harga wajar maka saat itu menimbun tidak dilarang.
Ø  Orang yang menimbun barang dagangannya bermaksud menjual dengan harga yang tinggi sehingga menyulitkan manusia. Jadi apabila dia menjual dengan harga standar, sehingga tidak menyulitkan, bahkan memudahkan urusan mereka, maka ini tidak dilarang.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah juga memberikan kriteria yang hampir sama sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya fikih sunnah, para ahli fiqih berpendapat bahwa penimbunan barang diharamkan (terlarang) setelah memenuhi kriteria sebagai berikut:
Ø  Barang yang ditimbun lebih dari apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh. Karena seseorang hanya dibolehkan menyimpan atau menimbun persediaan nafkah pangan untuk diri sendiri dan keluarganya selama satu tahun, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ø  Pemilik tersebut menanti kenaikan harga barang agar pada saat menjualnya ia mendapatkan harga yang lebih tinggi.
Ø  Penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang-barang tersebut seperti makanan, pakaian dsb. Apabila barang-barang tersebut berada di tangan para pedagang dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan barang karena tidak menimbulkan kesulitan publik (Sabiq 2006).
3. Hikmah Larangan Ihtikaar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikaar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan.
Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam[5].
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.[6]
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia (Al Haritsi, 2006).

Regulasi Harga Ditinjau dari Perspektif Islam
Yang dimaksud meregulasi/menentukan harga adalah apabila penguasa atau wakilnya atau siapa saja yang memimpin umat Islam memerintahkan pelaku pasar untuk tidak menjual barangnya kecuali dengan harga tertentu, maka dilarang untuk menambah atau menguranginya untuk kemaslahatan.[7]
Salah satu cara pemerintah untuk mengatur dan mengawasi praktik-praktik monopoli adalah dengan meregulasi harga.
Regulasi harga menjadi topik dan pembahasan dan perselisihan di kalangan para ulama. Pendapat pertama adalah tidak diperbolehkannya penentuan harga, yang merupakan pendapat kebanyakan para ulama. Pendapat kedua mengatakan diperbolehkan menentukan harga apabila dibutuhkan. Sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa penguasa bisa melarang orang yang ingin menjual barang lebih murah dari yang dijual orang lain dan dikatakan kepadanya,”Juallah seperti orang lain menjual. apabila tidak, maka keluarlah dari kami, sehingga tidak membahayakan penghuni pasar (Al Haritsi 2006).
Menurut kami, pendapat yang terkuat adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Al Hisbah. Di buku itu dijelaskan bahwa penetapan harga ada yang boleh karena mengandung keadilan diantara manusia dengan cara memaksa mereka menjual barang dengan harga yang wajar atau melarang mereka mengambil harga melebihi harga wajar dalam kondisi yang mewajibkan mereka bersikap demikian.
Misalnya, jika pemiliki komoditi tertentu menahan untuk menjual barang-barang milik mereka kecuali dengan harga yang melebih harga normal atau komoditi itu tidak dijual kecuali oleh para pedagang tertentu, dan barang-barang tersebut juga tidak boleh dijual (oleh pemasok) kecuali kepada mereka, kemudian hanya mereka yang menjualnya dan melarang jika ada orang lain yang menjual barang tersebut, sedangkan masyarakat sangat membutuhkan komoditi itu. Dalam kondisi ini pemerintah wajib memaksa mereka menjual dengan harga wajar.
Penetapan harga yang tidak boleh apabila memaksa manusia menjual dengan sesuatu harga yang tidak mereka sukai dengan cara yang tidak benar, atau melarang mereka dalam hal-hal yang diperbolehkan Allah subhaanahu wa ta’aala. Misalnya, dalam kondisi normal mekanisme pasar berdasarkan teori supply and demand antara pedagang dan pembeli. Regulasi/ penetapan harga dalam kondisi seperti ini termasuk pemaksaan yang tidak benar. Inilah alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menentukan harga pada keadaan normal.
‏عن ‏ ‏أنس ‏ ‏قال ‏غلا السعر على عهد النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقال الناس يا رسول الله غلا السعر فسعر لنا فقال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏ إن الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وإني أرجو أن ألقى ربي وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة ظلمتها إياه بدم ولا مال
Dari Anas bahwa ia mengatakan: Harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Orang-orang berkata, ”Wahai Rasulullah, harga sudah membumbung, maka batasilah harga untuk kami para pembeli”, maka beliau menjawab, ”Sesungguhnya Allah-lah Yang menentukan harga, Yang menahan, dan Yang meluaskan rizki. Sesungguhnya aku bercita-cita untuk menemui Allah subhaanahu wa ta’aala nantinya, sedangkan tidak satupun di antara kamu yang menuntutku karena suatu kedzaliman yang aku lakukan terhadap darah dan hartanya”. ( HR Abu Dawud, Ad Darimi, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari sahabat Anas radhiyallahu ’anhu).
Jadi, penetapan harga tidak diperbolehkan, selama tidak ada ihtikaar. Apabila ditemukan adanya ihtikaar, maka diperintahkan kepada yang melakukan ihtikaar untuk menjual dengan harga pasar dan penguasa mewajibkannya.
Karim (2007) menambahkan kebolehan price intervention antara lain karena:
Ø  Price Intervention menyangkut kepentingan masyarakat, yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing power.
Ø  Bila tidak dilakukan  price Intervention, maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara ihtikaar atau ghabn faahisy. Dalam hal ini si penjual menzalimi si pembeli.
Ø  Pembeli biasanya mewakili masayrakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili masyarakat yang lebih kecil. Sehingga price Intervention berarti pula melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Kesimpulan
Sebuah perusahaan disebut melakukan monopoli apabila perusahaan ini menjadi satu-satunya penjual produk di pasar, dan produk itu tidak memiliki substitusi/penggganti. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan harga normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly’s rent-seeking.
Ihtikaar merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Oleh karena itu penentuan harga oleh pemerintah apabila dibutuhkan misalnya karena terjadi ketidakseimbangan pasar adalah diperbolehkan sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Referensi
-Ahmad, Muhammad Al ‘Assal, Fathi Ahmad, Abdul Karim._____. Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuannya. Abu Ahmadi, Anshari Umar Sitanggal, penerjemah. Surabaya: PT Bina ILmu. Terjemahan dari: An Nidzaamul iqtishaadi fil islaam mabaadiuhu wahdaafuhu.
-Al Asqalani, Ibnu Hajar.______. Fathul Bari Penjelasan Kitab Shohih Al Bukhori. Amiruddin, penerjemah. Jakarta: Pustaka Azzam. Terjemahan dari: Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari
-Al Asqalani, Ibnu Hajar.______. Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhori. Beirut: Darul Fikr. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Khattab. Asmuni Sholihan Zamakhsyari, penerjemah. Jakarta: Khalifa. Terjemahan dari: Al-Fiqh al-iqtishoodi li Amiiril Mu’miniin Umar Ibn al-Kaattab.
-Ali, Muhammad. 2008. Hukum menimbun barang dagangan. Dalam: Al Furqon Edisi 7 th ke-7, hlm.35-37 kolom 2
-Al Mubarokfuri.______.Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At Tirmidzi. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Al Quran dan Terjemahnya.
-An Nawawi.______.Syarh Shohiih Muslim An Nawawi. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Al Abadi, Muhammad Syamsul Haq Al Adziim._____.‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawuud. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Faishal bin Abdul Aziz. 2001. Terjemah Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum. Surabaya: PT Bina Ilmu. Terjemahan dari: Bustaanul Ahbaar Mukhtashor Nailul Author.
-Ibnu Taimiyah. 2008. Success Business With Sharia Al Hisbah. Rafiqah Ahmad,  Alimin, penerjemah. Cilangkap: Migunani. Terjemahan dari: Al Hisbah.
-Ibnul Qoyyim. 1388 H. I’laamul Muwaqqi’iiin ’an Robbil ’Aalamiin. Kairo: Maktabah Al Kulliyyaat al Azhariyyah. (software Maktabah Asy Syamilah).
-Karim, Adiwarman, 2007. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
-Mankiw, N. Gregory. 2003. Pengantar Ekonomi (Jilid I). Haris Munandar, penerjemah. Jakarta: Erlanggga. Terjemahan dari: Principles Economics, 2nd ed.
-Rahardja, Pratama, Manurung, Mandala. 2006. Pengantar Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
-Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. Nor Hasanuddin, penerjemah. Lebak Bulus: Pena Pundi Aksara. Terjemahan dari: Fiqhus Sunnah.
[1] Lihat lisaanul ‘arab untuk huruf ro’, pengertian ini hampir semuanya disebutkan oleh ulama ahli bahasa dalam kitab-kitabnya (lihat Qamus al muhiith, ash shihhaah fil lughoh, an nihaayah fi ghoriibil hadiits wal atsar, taajul ‘uruus).
[2] Demikian juga yang diartikan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab fathul bari-nya.
[3] Kami banyak menukil pembahasan ini dari majalah Al Furqon Edisi 7 th ke-7
[4] Sebagaimana dhohirnya perkataan Imam Bukhari yang menulis bab jual beli makanan dan penimbunan, akan tetapi hadits-hadits yang beliau cantumkan sama sekali tidak terdapat masalah penimbunan, seperti yang dikatakan oleh Al Ismaili (dinukil dari kitab fathul bari hlm.186-187).
[5] Dinukil dari majalah Al Furqon Edisi 7 th ke-7 hlm. 37 kolom 2.
[6] Al ‘Assal dan Abdul Karim dalam bukunya  Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuannya
[7] Pengertian ini dinukil dari Dr. Jaribah bin Ahmad Al Haritsi dalam bukunya Fikih Ekonomi Umar bin Khattab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar