Rabu, 25 Mei 2011

LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI


PENDAHULUAN
Islam mempunyai dua dasar atau sumber hukum, untuk mengatur umatnya kepada kehidupan yang baik, dan teratur tampa merugikan satu sama lain. Sumber hukum tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadits. Begitu juga dengan pemerolehan harta atau uang.
Aktivitas yang berkaitan dengan harta merupakan hal yang penting kita perhatikan, karena pada hari kiamat, ada dua pertanyaan yang berkaitan dengan harta, yaitu darimana kita memperoleh harta dan untuk apa kita pergunakan harta itu?
Salah satu bentuk memutar harta/uang di dalam Islam adalah aktivitas jual beli di pasar. Di dalam ekonomi Islam pembahasan mengenai ketidakadilan dalam pasar sudah diatur dengan jelas. Diantaranya keharaman ihtikaar (menimbun barang langka sehingga harga naik) yang biasanya terjadi akibat adanya monopoli oleh seseorang atau suatu perusahaan.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hukum atau aturan dalam islam maka dalam makalah ini akan membahas Hadits tentang larangan monopoli dan menimbun.







PEMBAHASAN
LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI
A.     LARANGAN TERHADAP TENGKULAK
وعن طا وس عن ابن عباس رضىا الله عنهما قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تلقوا الركبان ولا يبع حاضرلباد، قلت لابن عباس : ماقوله : ولا يبع حا ضر لباد؟ قال لا يكون له سمسارا (متفق عليه واللفظ للبخارى)
Artinya: “Dari Thawus, dari Ibnu Abas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu menjemput (mencegat) para pedagang yang membawa barang-barang dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran, dan janganlah orang kota menjual barang buat orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu Abas: apa yang dimaksut dari sabda rasul bahwa orang kota tidak boleh menjual dagangannya dengan orang desa itu ? jawab ibnu abas: maksudnya janganlah orang kota menjadi makelar atau perantara (penghubung yang memuji-muji dagangannya bagi orang desa.” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Muslim).
Tinjauan bahasa:
تلقوا :    menjegat, maksutnya pergi menjumpai kafilah sebelum mereka sampai dikota dan sebelum mereka mengetahui harga pasar.
الركبا :         para padagang yang biasanya menunggang unta dan sering disebut kafilah.
سمسارا :     makelar
حا ضر :     penduduk setempat
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, baik desa itu jauh meupun dekat dengan kota, baik diwaktu harga mahal ataupun murah (turun), baik di waktu penduduk kota memerlukan barang maupun tidak, baik menjual secara bertahap ataupun sekaligus.[1]
Perantara menurut penafsiran Ibnu Abas dari kata Hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi pelantara bagi penduduk desa, dengan kata lain mengambil keuntungan atau bayaran. Jika perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran itu diperbolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut dianggap telah melakukan kebaikan bagi para penduduk.
Namun demikian, tujuan para tengkulak dari kota menjadi perantara tiada kata lain mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka membodohi penduduk desa dengan menjual barang dengan sangat tinggi sesuai dengan keinginan mereka perbuatan tersebut tentu saja dilarang oleh islam kerena sangat memudaratkan.
Penduduk desa sebenarnya dapat langsung pergi kekota untuk membeli barang tersebut, tidak melalui pelantara, akan tetapi karna kebodohan mereka atau sebab sebab lain, mereka tidak dapat pergi ke kota. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para perantara hingga penduduk desa membeli barang dengan harga sangat tinggi. Mereka membeli barang tersebut karena sangat membutuhkan dan kebodohan mereka tentang harga sebenarnya.
Tentu saja berbeda hukumnya, bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara). Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.[2]
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk  ma’kah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.
Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
Rasulullah saw bersabda:

إذَا تَبَا يَعَ الرَّجُلاَ نِ فَكُلُّ وَاحِدٍمِنْهُمَا بِلْخِيَرِمَالَمْ يَتَفَرَّقَ وَكَانَا جَمِيْعًا أوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اْلاَخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَاحَدُهُمَااْلاَخَرَ,فَإِنْ خَيِّرَاَحَدُهُمَاهُمَااْلاَخَراْلاَخَرَفَتَبَا يَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْوَزَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَ بَعْدَ أَنْ يَتَبَا يَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدُ‘مِنْهُمَا َالبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَاالْبَيْعُ.
artinya:
“Apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut.” (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.[3]

B.     LARANGAN MENIMBUN BARANG POKOK
Sabda Rasulullah SAW:

وَ عَنْ مَعْمَرِ بْن ِعَبْدِ اللهِ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْ الله صَلى الله عَليْهِ وَسَلم قالَ :لا يَحْتكِرُ إلاخَاطِىءُ. )رواه مسلم(
Artinya:
“Dari Ma’mar bin Abdullah r.a. dari Rasulullah SAW beliau bersabda: Tidaklah yang menimbun itu, agar barang naik, kecuali orang yang bersalah.”(HR Muslim).
يَحْتكِر : Menimbun
خَاطِىءُ : Orang yang melakukan kesalahan (dosa)

وعن أبى هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من احتكر حتكرة يريدان يغلى ها على المسلمين وهو خا طئ (رواه أ حمد).
Artinya: “ Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: siapa yang menimbun serta timbun (barang) dengan maksud menaikkan harga bagi kaum muslim, maka orang itu adalah barsalah (berdosa).” (H.R. Ahmad).
وعن معقل بن يسار قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من دخل فى شى من اسعار المسلمين ليفليه عليهم كان حقا على الله أن يقعده بعظم من النار يوم القيا مة (رواه أحمد).

Artinya: “ Dari ma’qil bin yasar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mencampuri urusan harga bagi kaum  muslimin untuk tujuan menaikkan harga, maka Allah akan menempatkan dia didalam neraka pada kiamat nanti.” (H.R. Ahmad).
Perkataan menimbun maksudnya adalah memakan barang untuk tidak dijual. Secara lahiriah hadis diatas menunjukkan bahwa menimbun barang itu hukumnya adalah haram tanpa dibedakan antara makanan pokok manusia dengan binatang.
Ibnu ruslan berkata, tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang disimpan manusia baik itu berupa bahan pokok maupun apa yang mereka perlukan seperti samin, madu dan lain-lain adalah boleh mereka simpan, sedangkan Rosul sendiri perna menyimpan untuk keluarganya, makanan pokok untuk selama satu tahun berupa tamar.
Ibnu Abdul Bar berkata, bahwa sesungguhnya Sa’id dam Ma’mar hanya menimbun minyak, sedangkan mereka menafsirkan hadis diatas kepada arti penyimpanan bahan pokok pada waktu dibutuhkan, demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan lain-lain. Hadis diatas menunjukkan bahwa penimbunan yang dilarang itu adalah ketika dalam keadaan barang-barang yang ditimbun itu dibutuhkan dan sengaja untuk tujuan menaikkan harga.
Dalam hadis barang siapa yang mencampuri harga (barang) kaum muslimin untuk menaikkan (harganya) itu. Abu Daud berkata: Aku perna bertanya kepada Imam Ahmad tentang bagaimana yang dikatakan menimbun itu. Ia menjawab: Yaitu bahan yang menjadi penghidupan manusia (bahan pokok).[4]
Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijula kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga. Ini merupakan pengertian secara terminologi. Kata al-Khaati’; Ar-Raqhib berkata “Al-khata’ adalah merubah arah. Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli.
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadis diantaranya:[5]
Sabda Rasulullah SAW:
Dari ibnu Umar, dari Nabi SAW
مَنْ احْتَكَرَطَعَمًاأرْبَعِيْنَ لَيْلة فَقَدْبَرِىءَمِنَ اللهَ وَبَرِىءَ مِنْهُ
Artinya:                                                                                                           
“Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh malam sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah berlepas dari padanya”
Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW

مَنِ احْتَكَرَحُكْرَة ًيُرِيْدُأنْ يُغَالِيَ بِهَاعَلَى ا لمُسْلِمِيْنَ فَهُوَخَطِئ

Artinya:
“Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”

Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
1.      Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun
2.      Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik
3.      Menimbun itu dilakuakn saat manusia sangat membutuhkan

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat saya simpulkan bahwa, perantara yang betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah, sebagai mana telah disebutkan diatas barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak (perantara), Perantara seperti itu dibolehkan bahkan ia telah menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk membeli barang, akan tetapi harga jangan sampai mencekik penduduk, lebih baik tidak mengambil keuntungan. Ia hanya mengambil keuntungan sedikit atau sekedarnya saja. Perantara seperti itu di kategorikan sebagai pedagang yang diperbolehkan dalam islam, bahkan kalau jujur dan bersih, mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli. Dijelaskan pada hadits: “Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”












DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, Toto. Dkk. Hadits. 2002. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
      2011.
Rahmat Syafe’i,Al-Hadits, Aqidah, Akhlaq, Soaial, 2000, Bandung: Pustaka Setia.


[1] Toto haryanto, dkk, Hadits,IAIN Raden Fatah Press Palembang: 2002, hal. 81
[2] Rahmat Syafe’i,Al-Hadits, Aqidah, Akhlaq, Soaial, 2000, Pustaka Setia Bandung, hal. 172.
[4] Toto Haryanto, Op.cit , hal 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar